I.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman jagung sangat bermanfaat
bagi kehidupan manusia ataupun hewan. Di Indonesia, jagung merupakan makanan
pokok kedua setelah padi. Sedangakan urutan bahan makanan pokok di dunia,
jagung menduduki urutan ketiga setelah gandum dan padi. Pertumbuhan dan
perkembangan dalam budidaya tanaman jagung sangat penting dalam perhatiannya.
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
jagung. Terutama adalah faktor media tanam.
Media tanam merupakan media/tempat dimana tanaman/biji dapat tumbuh dan
berkembang didalamnya. Contohnya seperti tanah jenis latosol, andosol,
grumosol,eltisol, pupuk kandang, air, kapas, kompos, dan sejenis lainnya. Saat
ini, di kehidupan sehari-hari atau dalam perkebunan, tanah selalu menjadi media
tanam bagi benih yang akan ditanam. Pada tanah-tanah dengan tekstur berat
(grumosol) masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik dengan pengolahan
tanah secara baik. Sedangkan untuk tanah dengan tekstur lempung/liat (latosol)
berdebu adalah jenis tanah yang
terbaik untuk pertumbuhan jagung. Sedangkan, media tanam yang menggunakan air biasanya dikhususkan untuk
tumbuhan hidroponik.
Dalam hal ini, dapat
terlihat bahwa kegunaan antara berbagai media tanam itu berbeda-beda. Tidak
hanya kegunaannya saja tapi pengaruhnya terhadap perkecambahan suatu biji.
Pengaruh tersebut dapat disebabkan karena setiap media tanam mengandung
unsur-unsur dan struktur yang berbeda-beda.
1.2 Tujuan
1.2.1
Mengetahui teknologi produksi tanaman jagung dari segi
budidaya pertanian
1.2.2
Mengetahui persiapan lahan dalam budidaya tanaman jagung
1.2.3
Mengetahui dan mengaplikasikan
pengolahan tanah untuk komoditas jagung
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Klasifikasi
Tanaman Jagung
Kingdom :
Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)
Classis : Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo : Graminae (rumput-rumputan)
Familia : Graminaceae
Genus : Zea
Species : Zea mays L.
Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)
Classis : Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo : Graminae (rumput-rumputan)
Familia : Graminaceae
Genus : Zea
Species : Zea mays L.
2.2
Asal – usul Tanaman Jagung
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi.
Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan,
jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat.
Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara) juga
menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat,
jagung juga ditanam sebagaipakan ternak (hijauan maupun tongkolnya),
diambil minyaknya (dari bulir),
dibuat tepung(dari
bulir, dikenal dengan istilah tepung jagung atau
maizena), dan bahan baku industri (dari tepung bulir dan tepung tongkolnya).
Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang
dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetika juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi.
Berdasarkan temuan-temuan genetik, antropologi, dan arkeologi diketahui bahwa daerah asal jagung adalah Amerika Tengah (Meksiko bagian selatan). Budidaya jagung telah
dilakukan di daerah ini 10.000 tahun yang lalu, lalu teknologi ini dibawa ke Amerika Selatan(Ekuador)
sekitar 7000 tahun yang lalu, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Perupada
4.000 tahun yang lalu.Kajian filogenetik menunjukkan bahwa jagung budidaya (Zea mays ssp. mays)
merupakan keturunan langsung dari teosinte (Zea mays ssp. parviglumis). Dalam proses domestikasinya, yang
berlangsung paling tidak 7.000 tahun oleh penduduk asli setempat, masuk gen-gen
dari subspesies lain, terutama Zea
mays ssp. mexicana. Istilah teosinte
sebenarnya digunakan untuk menggambarkan semua spesies dalam genusZea,
kecuali Zea mays ssp. mays.
Proses domestikasi menjadikan jagung merupakan satu-satunya spesies tumbuhan
yang tidak dapat hidup secara liar di alam. Hingga kini dikenal 50.000 kultivar jagung, baik yang terbentuk secara alami maupun
dirakit melalui pemuliaan.
2.3 Deskripsi
Tanaman Jagung
Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam
80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif
dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Tinggi tanaman jagung sangat
bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian antara 1m sampai 3m,
ada varietas yang dapat mencapai tinggi 6m. Tinggi tanaman biasa diukur dari
permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum bunga jantan. Meskipun beberapa varietas dapat menghasilkan anakan (seperti padi), pada
umumnya jagung tidak memiliki kemampuan ini. Bunga betina jagung berupa
"tongkol" yang terbungkus oleh semacam pelepah dengan
"rambut". Rambut jagung sebenarnya adalah tangkai putik. Akar
jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun
sebagian besar berada pada kisaran 2 m. Pada tanaman yang sudah cukup dewasa
muncul akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu menyangga
tegaknya tanaman. Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana sorgum dan
tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Terdapat mutan yang batangnya tidak
tumbuh pesat sehingga tanaman berbentuk roset. Batang beruas-ruas. Ruas
terbungkus pelepah daun yang muncul dari buku. Batang jagung cukup kokoh namun
tidak banyak mengandung lignin. Daun jagung adalah daun sempurna. Bentuknya memanjang. Antara pelepah dan helai daun terdapat ligula. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun.
Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stoma pada daun jagung
berbentuk halter, yang khas dimiliki familia Poaceae. Setiap stoma dikelilingi
sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam respon
tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun. Jagung memiliki bunga jantan
dan bunga betina yang terpisah (diklin) dalam satu tanaman (monoecious). Tiap
kuntum bunga memiliki struktur khas bunga dari suku Poaceae, yang disebut floret. Pada jagung, dua floret dibatasi oleh sepasang
glumae (tunggal: gluma). Bunga jantan tumbuh di bagian puncak tanaman, berupa
karangan bunga (inflorescence). Serbuk sari berwarna kuning dan beraroma khas.
Bunga betina tersusun dalam tongkol. Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang
dan pelepah daun. Pada umumnya, satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu
tongkol produktif meskipun memiliki sejumlah bunga betina. Beberapa varietas
unggul dapat menghasilkan lebih dari satu tongkol produktif, dan disebut
sebagai varietas prolifik. Bunga jantan jagung cenderung siap untuk penyerbukan
2-5 hari lebih dini daripada bunga betinanya (protandri).
2.4 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung
Tanaman jagung berasal dari daerah tropis yang
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di
luar daerah tersebut. Jagung tidak menuntut persyaratan lingkungan yang
terlalu ketat, dapat tumbuh pada berbagai macam tanah bahkan pada kondisi tanah
yang agak kering. Tetapi untuk pertumbuhan optimalnya, jagung menghendaki
beberapa persyaratan.
Iklim
a.
Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar
tanaman jagung adalah daerahdaerah beriklim sedang hingga daerah beriklim
sub-tropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak
antara 0-50 derajat
LU hingga 0-40 derajat LS.
b.
Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan
tanaman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan harus
merata. Pada fase pembungaan
dan pengisian biji tanaman jagung perlu mendapatkan
cukup air. Sebaiknya jagung ditanam diawal musim hujan, dan menjelang musim kemarau.
c.
Pertumbuhan tanaman jagung sangat membutuhkan
sinar matahari. Tanaman jagung yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat/
merana, dan memberikan hasil biji yang kurang baik bahkan tidak dapat membentuk buah.
d.
Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara
21-34 derajat C, akan tetapi bagi pertumbuhan tanaman yang ideal memerlukan
suhu optimum antara 23-27 derajat C. Pada proses perkecambahan benih jagung
memerlukan suhu yang
cocok sekitar 30 derajat C.
e.
Saat panen jagung yang jatuh pada musim
kemarau akan lebih baik daripada musim hujan, karena berpengaruh terhadap waktu
pemasakan biji dan
pengeringan hasil.
Media Tanam
a.
Jagung tidak memerlukan persyaratan tanah yang
khusus. Agar supaya dapat tumbuh optimal tanah harus gembur, subur dan kaya humus.
b.
Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara
lain: andosol (berasal dari gunung berapi), latosol, grumosol, tanah berpasir.
Pada tanah-tanah dengan tekstur berat (grumosol) masih dapat ditanami jagung
dengan hasil yang baik dengan pengolahan tanah secara baik. Sedangkan untuk
tanah dengan tekstur lempung/liat (latosol) berdebu adalah yang terbaik untuk pertumbuhannya.
c.
Keasaman tanah erat hubungannya dengan
ketersediaan unsur-unsur hara tanaman. Keasaman tanah yang baik bagi
pertumbuhan tanaman jagung adalah pH antara 5,6 - 7,5.
d.
Tanaman jagung membutuhkan tanah dengan aerasi
dan ketersediaan air dalam kondisi baik.
e.
Tanah
dengan kemiringan kurang dari 8 % dapat ditanami jagung, karena disana
kemungkinan terjadinya erosi tanah sangat kecil. Sedangkan daerah dengan
tingkat kemiringan lebih dari 8 %, sebaiknya dilakukan pembentukan teras dahulu.
Ketinggian
Tempat
Jagung dapat ditanam di Indonesia mulai dari
dataran rendah sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara
1000-1800 m dpl. Daerah dengan ketinggian optimum antara 0-600 m dpl merupakan
ketinggian yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Sistem
Olah Tanah
Sistem olah tanah yang dapat dimanfaatkan untuk
menanam tanaman jagung terdiri atas 3 metode atau cara, yaitu sistem olah tanah
konvensional (guludan atau bedengan), sistem olah tanah minimum (pada tanah
yang subur atau gembur) dan sistem tanpa olah tanah.
a. Sistem Olah Tanah Konvensional (Guludan atau
Bedengan)
Prinsip dari sistem olah tanah konvensional
(guludan atau bedengan) adalah mengolah tanah secara keseluruhan, yaitu dengan
cara manual dan menggunakan cangkul atau linggis kemudian membongkar dan
membalik tanah lalu diratakan. Tanah yang akan ditanami tanaman harus
dibersihkan dari tanaman pengganggu seperti gulma. Tanah yang telah bersih
kemudian dibentuk guludan atau semacam bedengan dengan saluran drainasenya agar
dapat membuang kelebihan air pada musim-musim hujan. Guludan adalah tumpukan
tanah yang dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong lereng.
Tinggi tumpukan tanah sekitar 25–30 cm dengan lebar dasar sekitar 30–40 cm.
Jarak antara guludan tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah,
dan erosivitas hujan. Guludan dapat diperkuat dengan menanam rumput atau
tanaman perdu (Chairani, 2010).
Keuntungan dari olah tanah konvensional adalah
pertumbuhan tanaman akan subur sebab aliran aerase atau pertuara udara dalam
tanah menjadi lancar, pori-pori tanah juga semakin banyak menyerap air dan
unsur hara yang diperlukan tanaman. Namun, ada juga kerugian dari pengolahan
tanah konvensional yaitu membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dan
penggunaan waktu juga kurang efisien sebab selain membutuhkan tenaga kerja yang
lebih banyak juga membutuhkan waktu yang agak lama dibandingkan dengan olah
tanah yang lain sebab dalam olah tanah ini, semua permukaan tanah diolah tanpa
terkecuali bahkan tanah yang tidak ditanami
(Chairani, 2010).
b. Sistem Olah Tanah Minimum (Pada Tanah Subur
atau Gembur)
Pengolahan tanah minimum hanya dapat dilakukan
pada tanah yang gembur. Tanah gembur dapat terbentuk sebagai hasil dari
penggunaan mulsa secara terus menerus dan atau pemberian pupuk (baik pupuk
hijau, pupuk kandang, atau kompos) dari bahan organik yang lain secara terus
menerus. Penerapan teknik pengolahan tanah minimum perlu disertai dengan
pemberian mulsa. Keuntungan olah tanah minimum adalah menghindari kerusakan
struktur tanah, mengurangi aliran permukaan dan erosi, memperlambat proses
mineralisasi, mengefisienkan tenaga kerja daripada pengelolaan penuh, dan dapat
diterapkan pada lahan-lahan marginal yang jika tidak dengan cara ini mungkin
tidak dapat diolah. Kerugian dari olah tanah minimum adalah persiapan bedengan
yang kurang memadai dapat menyebabkan pertumbuhan yang kurang baik dan produksi
yang rendah, lebih cocok untuk tanah yang gembur, pemberian mulsa perlu
dilakukan secara terus menerus, herbisida diperlukan apabila pengendalian
tanaman pengganggu tidak dilakukan secara manual atau dilakukan secara mekanis
(Chairani,2010).
c. Sistem Tanpa Olah Tanah
Untuk sistem tanpa olah tanah, juga bisa
diterapkan pada tanah-tanah yang subur atau gembur. Sistem tanpa olah tanah
merupakan bagian dari konsep olah tanah konservasi yang mengacu kepada suatu
sistem olah tanah yang melibatkan pengolahan mulsa tanaman ataupun gulma
(tanaman pengganggu). Budidaya pertanian tanpa olah tanah sebetulnya berangkat
dari corak pertanian tradisional yang dimodifikasikan, dengan memasukkan unsur
kimiawi untuk mengendalikan gulma, dalam hal ini herbisida. Persiapan lahan
cukup dilakukan dengan penyemprotan, gulma mulai mati dan mengering, lalu
direbahkan selanjutnya dibenamkan dalam lumpur (Nursyamsi, 2004).
Persiapan lahan pada sistem TOT (tanpa olah
tanah) dapat dilakukan dengan menggunakan herbisida. Glyfosat merupakan salah
satu herbisida yang banyak digunakan untuk mempersiapkan lahan TOT. Aplikasi
herbisida pada lahan TOT seringkali menimbulkan adanya pergeseran gulma yang
tumbuh berikutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gulma
yang tumbuh pada saat persiapan lahan serta untuk membandingkan pengaruh saat
aplikasi dan dosis herbisida glyfosat terhadap pergeseran gulma. (Nurjanah,
2011).
3.2 Media Tanam / Pengolahan Tanah
Jagung dapat tumbuh pada media tanam di lahan
kering, sawah, pasang surut asalkan syarat tumbuh diperlukan terpenuhi. Jenis
tanah yang dapat ditanami jagung antara lain Andosol, Latosol, Entisol dan
Grumosol. Tanah bertekstur lempung atau liat berdebu (Latosol) merupakan jenis
tanah yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman jagung. Tanaman jagung menghendaki
tanah yang gembur (lembab), permeabilitas sedang, drainase agak cepat, tingkat
kesuburan sedang, kandungan humus sedang. Reaksi tanah (pH) berkisar antara 5,2
- 8,5 yang optimal antara 5,8– 7,8. Pada pH netral, unsur-unsur hara yang
dibutuhkan tanaman jagung banyak tersedia di dalamnya. pH lebih dari 7,0 unsur
P terikat oleh CO sehingga tidak terlarut dalam air. Hal ini mengakibatkan
unsur hara sulit diserap oleh akar tanaman. Jadi, pH tanah dan unsur-unsur hara
yang ada (tersedia) bagi tanaman saling berkaitan.
Pengolahan tanah bekas pertanaman padi (lahan sawah) dilaksanakan setelah membabat jerami. Jerami dapat digunakan
sebagai mulsa/penutup tanah setelah jagung ditanam. Kegunaan mulsa yaitu
mengurangi penguapan tanah, menghambat pertumbuhan gulma, menahan pukulan air
hujan dan lama kelamaan mulsa menjadi pupuk hijau. Untuk pengolahan tanahnya dapat menggunakan bajak/traktor, garu, cangkul,
dll. Pengolahan tanah pada lahan sawah kering cukup
sampai dengan kedalaman 10 cm dan semua limbah digunakan sebagai mulsa. Pada saat pengolahan tanah lahan kering setiap 3 m perlu disiapkan saluran air sedalam 20
cm dan lebar 30 cm yang berfungsi untuk memasukkan air pada saat kekurangan air
dan pembuangan air pada saat air berlebih. Pada lahan sawah tadah hujan, terlebih dahulu dibuat
saluran irigasi keliling lahan dan saluran memotong lahan setiap jarak 2m
dengan menggunakan hand traktor. Saluran tersebut berfungsi untuk mengairi
tanaman bila kekurangan air.
Tanah dengan pH kurang dari 5,0, harus dikapur 1
bulan sebelum tanam. Jumlah kapur yang diberikan 1-3 ton/ha untuk 2-3 tahun
disebar merata atau pada barisan tanaman, Dapat pula digunakan dosis 300 kg/ha
per musim tanam dengan cara disebar pada barisan tanaman atau menggunakan mineral
zeolit dengan dosis.
1). Minimum Tillage
Pada lahan-lahan yang peka terhadap erosi, budidaya
jagung perlu diikuti dengan usaha-usaha konservasi seperti penggunaan mulsa dan
sedikit mungkin pengolahan tanah. Bila waktu tanam mendesak, pengolahan tanah dapat
dilakukan hanya pada barisan tanaman saja, selebar 60 cm dengan kedalaman 15 –
20 cm
2). Zero Tillage (tanpa pengolahan tanah)
Pemberantasan gulma menggunakan herbisida 2-3
lt/ha. Tanah dicangkul hanya untuk lubang tanaman.
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Budidaya tanaman jagung dalam teknik pengolahannya dapat
menggunakan 2 cara yaitu, pengolahan tanah sistem olah tanah minimum dan sistem
tanpa olah tanam. Tidak di pungkiri dapat juga menggunakan sistem olah tanah
konvensional. Tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik pada tanah jenis latosol,
tumbuh baik pada pH 5,8 – 7,8. Pengolahan tanahnya dapat menggunakan
bajak/traktor, garu, cangkul, dll. Pada lahan sawah kering maupun sawah tadah
hujan perlu adanya pengolahan tanah untuk pembuatan saluran irigasi yang
berguna saat kekurangan air atau kelebihan air.
DAFTAR
PUSTAKA
Akil, M., E.O. Momuat, A.F. Fadhly, dan Subandi.
2002. Status kesuburan tanah dan pemupukan pada budi daya jagung. Balai
Penelitian TanamanJagung dan Serealia Lain. Maros.
Akil, M., E.O, Hadijah A.Dahlan. 2005. Budidaya
Jagung dan Diseminasi Teknologi. Balai PenelitianTanamanJagung dan Serealia
Lain Maros.
Bakhri, Syamsul. 2002. Budidaya Jagung dengan Konsep
Pengelolaan Tanaman Terpadu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Sulawesi
Tengah
Chairani.2010.http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/perspektif/1%20Rum%20_set_.pdf
Ichwan S.Madauna. 2009. Kajian Pupuk Organik Cair Lengkap Dosis Rendah Pada Sistem Budidaya Tanpa
Olah Tanah Terhadap Pertumbuhan Gulma Dan Hasil Jagung. Jurusan
Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Sulawesi Tengah
Murni,
A.M, Arief, Ratna.W.2008. Teknologi Budidaya Jagung Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Lampung. Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar