Senin, 11 November 2013

Hama Penting Pada Tanaman Bawang Merah Dan Pengendaliannya

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Bawang merah (Allium cepa) adalah tanaman yang termasuk dalam famili Alliaceae. Bawang merah  merupakan salah satu komoditas hortikultura yang sangat diperlukan manusia, yang biasanya digunakan sebagai bumbu masakan dan penyedap rasa. Selain itu, bawang merah mempunyai manfaat untuk kesehatan, antara lain untuk menyembuhkan sariawan dan demam, menyehatkan jantung, mengatasi sembelit, dan banyak manfaat lainnya (Jaelani, 2007), karena bawang merah diyakini mengandung gizi dan senyawa yang terolong zat non gizi serta enzim yang bermanfaat untuk terapi, serta meningkatkan dan mempertahankan kesehatan tubuh manusia.
Bawang merah diduga berasal dari Asia Tengah dan Asia Tenggara. Oleh karena itu, tanaman bawang merah sangat mudah dijumpai di Indonesia. Di Indonesia, sentra penanaman dan diduga pula sebagai daerah penyebaran bawang merah adalah Tegal, Cirebon, Pekalongan, Wates (Yogyakarta), Brebes, Solo, Nganjuk, dan Probolinggo (Rukmana, 1994).
Akhir-akhir ini, produksi bawang merah menurun. Di Cirebon, produksi bawang merah mengalami penurunan yang cukup tinggi. Menurut salah satu petani, penyebab utama penurunan produksi bawang merah adalah karena hujan yang berkepanjangan dan serangan hama penyakit (Zuraya, 2013). Jenis hama yang sering menyerang tanaman bawang merah salah satunya adalah ulat bawang (Spodoptera exiqua). Kehilangan hasil akibat serangan ulat ini bisa mencapai 57% karena terjadi sejak fase pertumbuhan sampai dengan fase pematangan umbi (Nurhayati, 2011). Selain ulat bawang, hama lain juga dapat menurunkan produksi bawang merah. Hama-hama tersebut akan dibahas dalam makalah ini.
1.2   Tujuan
1.       Untuk mengetahui hama apa saja yang ada pada tanaman bawang merah di lahan warga
2.       Untuk mengidentifikasi hama yang ditemukan di lahan warga
3.       Untuk mengetahui cara pengendalian hama yang ditemukan di lahan warga





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Bawang Merah (Allium cepa)
Bawang merah, yang lebih dikenal dengan nama brambang (Jawa) dan bawang beureum (Sunda), sedangkan dalam bahasa Inggris disebut shallot. Bawang merah berasal dari Asia/Mediterania. Bawang merah dibedakan atas bawang merah, bawang merah shallot, dan bawang bakung. Ketiga macam bawang merah ini berasal dari daerah tropika di Asia. Bentuk umbi bawang merah shallot (brambang) lebih kecil dari bawang merah yang lain.
Di Indonesia, Pulau Jawa merupakan daerah sentra produksi dan pengembangan bawang merah dataran rendah. Sentra penanaman di Jawa Timur antara lain: Malang, Nganjuk, Probolinggo, dan Kediri. Di Jawa Tengah antara lain: Tegal, Brebes dan Wates. Sedangkan di Jawa Barat antara lain: Majalengka, Kuningan dan Cirebon. Daerah di luar Jawa yang merupakan sentra bawang merah adalah Samosir (Sumatra Utara) dan Lombok Timur.


Klasifikasi:
Kingdom               : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom          : Tracheobionta
Super Divisi          : Spermatophyta
Divisi                     : Magnoliophyta
Kelas                     :Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas              : Liliidae
Ordo                      : Liliales
Famili                    : Liliaceae (suku bawang-bawangan)
Genus                    : Allium
Spesies                  : Allium cepa
Tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran dataran rendah, berasal dari Syria dan telah dibudidayakan semenjak 5.000 tahun yang lalu. Bawang merah merupakan tanaman semusim yang memiliki umbi yang berlapis, berakar serabut, dengan daun berbentuk silinder berongga. Umbi bawang merah terbentuk dari pangkal daun yang bersatu dan membentuk batang yang berubah bentuk dan fungsi, membesar dan membentuk umbi. Umbi terbentuk dari lapisan-lapisan daun yang membesar dan bersatu. Tanaman ini dapat ditanam di daratan rendah sampai daratan tinggi yang tidak lebih dari 1200 m dpl. Di daratan tinggi umbinya lebih kecil dibanding daratan rendah.
Kegunaan utama bawang merah adalah sebagai bumbu masak. Meskipun bukan merupakan kebutuhan pokok, bawang merah cenderung selalu dibutuhkan sebagai pelengkap bumbu masak sehari-hari. Kegunaan lainnya adalah sebagai obat tradisional (sebagai kompres penurun panas, diabetes, penurun kadar gula dan kolesterol darah, mencegah penebalan dan pengerasan pembuluh darah dan maag) karena kandungan senyawa allin dan allisin yang bersifat bakterisida (Rahayu,Estu. 2008).
Adapun teknik budidaya bawang merah menurut Singgih Wobowo (2008) yaitu harus memperhatikan hal-hal berikut ini:

1) Syarat Tumbuh Bawang Merah

Bawang merah dapat tumbuh pada tanah sawah atau tegalan, berstruktur remah, dan bertekstur sedang sampai liat. Jenis tanah Alluvial, Glei Humus atau Latosol, pH 5.6 - 6.5. Tanaman bawang merah memerlukan udara hangat untuk pertumbuhannya (25 s/d 320C), curah hujan 300 sampai 2500 mm pertahun, ketinggian 0-400 mdpl, dan kelembaban 50-70 %.

2) Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan lapisan tanah yang gembur, memperbaiki drainase dan aerasi tanah, meratakan permukaan tanah, dan mengendalikan gulma. Tanah dibajak atau dicangkul dengan kedalaman 20 cm, kemudian dibuat bedengan selebar 120 - 175 cm, tinggi 25 - 30 cm, serta panjang sesuai disesuaikan dengan kondisi lahan. Saluran drainase dibuat dengan lebar 40 - 50 cm dan kedalaman 50 - 60 cm. Apabila pH tanah kurang dari 5,6 diberi Dolomit dosis + 1,5 ton/ha disebarkan di atas bedengan dan diaduk rata dengan tanah lalu biarkan 2 minggu. Untuk mencegah serangan penyakit layu taburkan GLIO 100 gr (1 bungkus GLIO) dicampur 25-50 kg pupuk kandang matang, diamkan 1 minggu lalu taburkan merata di atas bedengan.

3) Penyediaan Bibit

Pada umumnya perbanyakan bawang merah dilakukan dengan menggunakan umbi sebagai bibit. Kualitas umbi bibit merupakan salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya hasil produksi bawang merah. Umbi yang baik untuk bibit harus berasal dari tanaman yang cukup tua yaitu berumur 70 - 80 hari setelah tanam, dengan ukuran sedang (beratnya 5 - 10 gram, diameter 1,5 - 1,8 cm). Umbi bibit tersebut harus terlihat segar dan sehat, tidak keriput, dan warnanya cerah. Umbi bibit telah siap tanam apabila telah disimpan 2 - 4 bulan sejak dipanen dan tunasnya sudah sampai ke ujung umbi.

4) Penanaman dan Pemberian Pupuk Dasar

Setelah tanah selesai diolah selanjutnya dilakukan kegiatan pemupukan. Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk organik yang sudah matang seperti pupuk kandang sapi dengan dosis 10-20 ton/ha atau pupuk kandang ayam dengan dosis 5-6 ton/ha, atau kompos dengan dosis 4-5 ton/ha. Selain itu pupuk P (SP-36) dengan dosis 200-250 kg/ha diberikan 2-3 hari sebelum penanaman.
Umbi bibit ditanam dengan jarak 10 cm x 20 cm atau 15 cm x 15 cm. Lobang tanaman dibuat setinggi umbi dengan menggunakan alat penugal. Umbi bawang merah dimasukkan ke dalam lobang tanaman dengan gerakan seperti memutar sekrup, hingga ujung umbi tampak rata dengan permukaan tanah. Setelah tanam dilakukan penyiraman dengan menggunakan embrat yang halus.

5) Pemupukan Susulan

Pemupukan susulan dilakukan pada umur 10-15 hari dan umur 30-35 hari setelah tanam. Jenis dan dosis pupuk yang diberikan adalah : Urea 75-100 kg/ha, ZA 150-250 kg/ha, Kcl 75-100 kg/ha. Pupuk diaduk rata dan diberikan di sepanjang garitan tanaman.

6) Pengairan

Tanaman bawang membutuhkan air yang cukup dalam pertumbuhannya. Penyiraman pada musim kemarau dilakukan 1 kali dalam sehari pada pagi hari atau sore, sejak tanam sampai menjelang panen.

7) Menyiangan dan Pembumbunan

Menyiang dilakukan sesuai dengan kondisi gulma, minimal dilakukan dua kali/musim, yaitu menjelang dilakukannya pemupukan susulan. Kegiatan membumbun dilakukan saat tanaman umur 30 dan 45 hari setelah tanam atau disesuaikan dengan kondisi umbi sampai muncul ke permukaan tanah.


8) Pengendalian Hama dan Penyakit

Hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman bawang merah adalah ulat tanah, ulat daun, ulat grayak, kutu daun, nematoda akar, bercak ungu alternaria, embun tepung, busuk leher batang, otomatis/ antraknose, busuk Umbi, layu fusarium dan busuk basah.

9) Panen dan Pasca Panen

Bawang merah dipanen apabila umurnya sudah cukup tua, biasanya pada umur 60-70 hari setelah tanam. Tanaman bawang merah dipanen setelah terlihat tanda-tanda 60-70% daun telah rebah atau leher batang lunak, sedangkan untuk bibit kerebahan daun lebih dari 90%. Panen dilakukan waktu udara cerah. Pada waktu panen, bawang merah diikat dalam ikatan-ikatan kecil (1-1.5 kg/ikat), kemudian dijemur selama 5-7 hari). Setelah kering (penjemuran 5-7 hari), 3-4 ikatan bawang merah diikat menjadi satu, kemudian bawang dijemur dengan posisi penjemuran bagian umbi di atas selama 3-4 hari. Pada penjemuran tahap kedua dilakukan pembersihan umbi bawang dari tanah dan kotoran. Bila sudah cukup kering (kadar air kurang lebih 85 %), umbi bawang merah siap dipasarkan atau disimpan di gudang.

10) Kriteria Kualitas Bawang Merah

Kriteria kualitas bawang merah yang dikehendaki oleh konsumen rumah tangga adalah : umbi berukuran besar, bentuk umbi bulat, warna kulit merah keunguan, dan umbi kering askip. Sedangkan konsumen luar (untuk ekspor) yang dikehendaki adalah : umbi berukuran besar, bentuk umbi bulat, wana kulit merah muda, dan umbi kering lokal.

2.2 Hama dan Pengendaliannya
2.2.1 Ulat Bawang (Spodoptera exigua)
A. Klasifikasi
Kingdom            : Animalia
Filum                  : Arthropoda
Kelas                  : Insecta
Ordo                   : Lepidoptera
Famili                 : Noctuidae
Subfamili            : Amphipyrinae
Spesies               : Spodoptera exigua


B. Bioekologi
Rentangan sayap ngengat panjangnya antara 25 – 30 mm.  Sayap depan berwarna coklat tua dengan garis-garis yang kurang tegas dan terdapat pula bintik-bintik hitam.  Sayap belakang berwarna keputih-putihan dan tepinya bergaris-garis hitam.  Ngengat betina mulai bertelur pada umur 2 – 10 hari.
Telur berbentuk bulat sampai bulat panjang, diletakkan oleh induknya dalam bentuk kelompok pada permukaan daun atau batang dan tertutup oleh bulu-bulu atau sisik dari induknya. Tiap kelompok telur maksimum terdapat 80 butir.  Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ngengat betina sekitar 500 – 600 butir.  Setelah 2 hari telur menetas menjadi larva.
Larva atau ulat muda berwarna hijau dengan garis-garis hitam pada punggungnya.  Ulat tua mempunyai beberapa variasi warna, yaitu hijau, coklat muda dan hitam kecoklatan.  Ulat yang hidup di dataran tinggi umumnya berwarna coklat.
Stadium ulat terdiri dari 5 instar.  Instar pertama panjangnya sekitar 1,2 – 1,5 mm, instar kedua sampai instar terakhir antara 1,5 – 19 mm.  Setelah instar terakhir ulat merayap atau menjatuhkan diri ke tanah untuk berkepompong.  Ulat lebih aktif pada malam hari.  Stadium larva berlangsung selama 8 – 10 hari.
Pupa berwarna coklat muda dengan panjang 9 – 11 mm, tanpa rumah pupa.  Pupa berada di dalam tanah dengan kedalaman + 1 cm, dan sering dijumpai juga pada pangkal batang, terlindung di bawah daun kering, atau di bawah partikel tanah.  Pupa memerlukan waktu 5 hari untuk berkembang menjadi ngengat.
Hama  ulat bawang tersebut menyebar di daerah sentra produksi bawang merah di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Irian.

C. Gejala Serangan
Ulat bawang dapat menyerang tanaman sejak fase pertumbuhan awal (1-10 hst) sampai dengan fase pematangan umbi (51-65 hst). Ulat muda (instar 1) segera melubangi bagian ujung daun, lalu masuk ke dalam daun bawang. Ulat memakan permukaan daun bagian dalam, dan tinggal bagian epidermis luar. Daun bawang terlihat menerawang tembus cahaya atau terlihat bercak-bercak putih transparan, akhirnya daun terkulai.

D. Pengendalian hama ulat bawang
Prinsip pengendalian hama tanaman yang di kembangkan oleh manusia dewasa ini adalah menekan jumlah populasi hama yang menyerang tanaman sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan. Komponen pengendalian hama yang dapat di terapkan untuk mencapai sasaran tersebut antara lain pengendalian hayati, pengendalian secara fisik dan mekanik, pengendalian secara kultur teknis dan pengendalian secara kimiawi.
a.       Pengendalian Hayati
 Suatu teknik pengendalian hama secara biologi yaitu dengan memanfaatkan musuh alami seperti prodator, parasitoid dan pathogen. Keuntungan pengendalian hayati ini adalah aman, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan tidak menyebabkan resistensi. Beberapa spesies predator dari S. litura adalah Solenopsis sp, Paedorus sp, Euberellia sp, Lycosa sp, dan laba-laba.
b.      Pengendalian Secara Kultur Teknis
Pengendalian serangga hama dengan memodifikasi kegiatan pertanian agar lingkungan pertanian menjadi tidak menguntungkan bagi perkembangan hama. Usaha-usaha tersebut mencakup sanitasi, pengolahan tanah, pergiliran tanaman, pemupukan berimbang, penggunaan mulsa, penggunaan tanaman perangkap.
c.       Pengendalian Kimiawi
Usaha mengendalikan hama dengan menggunakan bahan kimia pestisida yang mempunyai daya racun terhadap serangga hama yang di sebut Insektisida. Pengendalian dengan kimiawi menggunakan Insektisida dengan bahan aktif deltametrin
Pengendalian ulat bawang pada tanaman bawang merah hingga saat ini masih mengandalkan penggunaan insektisida secara intensik baik dengan meningkatkan dosis maupun dengan meningkatkan interval waktu penyemprotan dengan system kelender.

2.2.2 Hama Thrips tabaci
A. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum    : Arthropoda
Kelas       : Insecta
Ordo       : Thysanoptera
Famili     : Thripidae
Genus    : Thrips
Spesies  : Thrips tabaci Lindeman


B. Bioekologi
·         Biologi
Thrips pada bawang merah termasuk sub ordo Terebrantia yaitu thrips tabaci. Pada sub ordini terdapaovipositor  yang  berfungsi untuk  menusuk  dameletakkan telur kedalam jaringan tanaman. Thrips panjang tubuhnya 1-2 mm berwarna hitam, datar, langsing dan mengalami metamorfosis sederhana/ setengah sempurna yaitu mulai dari telur  kemudian  nimfa/thrips  muda  berwarna  putiatau  kuning  baru  setelah  itu menjadi thrips dewasa sebelum mengalami dua  sampai empainstar.
Thrips dapat berkembang biak secara generatif (kawin) maupun vegetatif melaluproses  Phartenogenesis,  misalnya  thrips  yang  mengalami phartenogenesis adalaThrips tabacyanmenyerang  tembakau. Perkembangbiakan  secara phartenogenesis akan menghasilkan serangga-seranggjantan. Menurut  Kalshoven (1981) bahwa imago  betina Thrips dapameletakkan telur sekitar 15 butir secara berkelompok kedalam jaringan epidhermal daun tanaman dengan masa inkubasi telur sekitar 7 hari.
·         Telur
Telur  dari hama  ini berbentuk  oval atabahkamiriseperti ginjal pada manusia, imago betina akan memasukkka n telurnya ke dalam jaringan epidhermal daun dengan bantuan ovipositornya yang tajam. Ukuran telurnya sangat kecil maka sering tak terlihat dengan mata telanjang. Telur ini diletakkannya dalam jumlah yang besar,dengan rata-rata 80 butir tiap induk. letak telur akan mudah diketahui dengan memperhatikan bekas tusukan pada bagian tanaman tersebut dan biasanya disekitar jaringan tersebut terdapat pembengkakan. Telur-telur  ini akan menetas sekitar 3 atau7 hari setelah pelatakan oleh imago betina (Direktorat Perlindungan Tanaman, 1992).
Bila kondisi menguntungkan dan makanan cukup tersedia, maka seekor trips betina mampu meletakkan telur 200–250 butir. Telur berukuran sangat kecil, biasanya diletakkan di jaringan muda daun, tangkai kuncup dan buah.



·         Nimfa
Thrips muda atau nimfa akan berwarna putih pucat atau pucat kekuningan sampai kepada berwarna jernih. Biasanya Thrips muda ini gerakannya masih sangat lambat dan pergerakannya hanya terbatas pada tempat dimana dia memperoleh makanan. Nimfa terdiri dari empat instar, dan Instar pertama sudah mulai menyerang tanaman. sayap baru akan terlihat pada masa pra-pupa. Daur hidup sekitar 7-12 hari ( Direktorat Perlindungan Tanaman, 1992).
Nimfa trips instar pertama berbentuk seperti kumparan, berwarna putih jernih dan mempunyai 2 mata yang sangat jelas berwarna merah, aktif bergerak memakan jaringan tanaman. Sebelum memasuki instar kedua warnanya berubah menjadi kuning kehijauan, berukuran 0,4 mm, kemudian berganti kulit.
Pada instar kedua ini trips aktif bergerak mencari tempat yang terlindung, biasanya dekat urat daun atau pada lekukan-lekukan di permukaan bawah daun. Trips instar ke dua berwarna lebih kuning, panjang 0,9 mm dan aktifitas makannya meningkat. Pada akhir instar ini, trips biasanya mencari tempat di tanah atau timbunan jerami di bawah kanopi tanaman. Pada stadium prapupa maupun pupa, ukuran trips lebih pendek dan muncul 2 pasang sayap dan antena, aktifitas makan berangsur berhenti



·         Imago
 Imago akan bergerak lebih cepat dibanding dengan nimfanya, telah memiliki sayap  yang  ukurannya  relatif panjang  dan  sempit,  imago  ini  tubuhnya  berwarna kuning pucat sampai kehitam-hitaman. Serangga dewasa berukuran 1-2 mm. Imago betina  dapat  bertelur  sampai  80  butir  yang  diletakkannya  ke  dalam  jaringan epidhermal daun dengan bantuan ovipositornya yang tajam.( Direktorat Perlindungan Tanaman, 1992).
Pada Imago, panjang sayap melebihi panjang perutnya. Ukuran trips betina 0,7–0,9 mm, trips jantan lebih pendek. Dalam satu tahun terdapat 8–12 generasi. Pada musim kemarau, perkembangan telur sampai dewasa 13–15 hari dan stadium dewasa berkisar 15–20 hari. bila suhu di sekitar tanaman meningkat, maka trips akan berkembang sangat cepat.



C. Gejala Serangan
Pada permukaan daun akan terdapat bercak-bercak yang berwarna putih seperti perak. Hal ini terjadi karena masuknya udara ke dalam jaringan sel-sel yang telah dihisap cairannya oleh hama Thrips tersebut. Apabila bercak-bercak tersebut saling berdekatan dan akhirnya bersatu maka daun akan memutih seluruhnya mirip seperti warna perak. Lama kelamaan bercak ini akan berubah menjadi warna coklat dan akhirnya daun akan mati.. Jadi pada umumnya bagian tanaman yang diserang oleh Thrips ini adalah pada daun, kuncup, tunas yang baru saja tumbuh, bunga serta buah cabai yang masih muda (Setiadi, 2004).
Tanaman bawang merah yang pertumbuhannya lemah sering sekali mendapat serangan, hal ini dikarenakan ketebalan epidermisnya yang kurang atau tidak normal. Maka akan terjadi pertumbuhan yang abnormal sehingga pembentukan bunga dan buah akan terhambat.Seperti yang dijelaskan diatas bahwa hama Thrips ini sudah menyerang tanaman bawang merah dimulai saat nimfa sampai kepada imago. Artinya begitu telur menetas menjadi nimfa maka akan langsung menghisap cairan tanaman. Nimfa biasanya bergerak jauh lebih lambat daripada imago, hal ini penting untuk membedakan antara imago dengan nimfa, Kotoran hama ini yang berbentuk seperti tetes hitam dapat menutupi jaringan daun yang diserangnya sehingga daun berubah menjadi hitam (Setiadi, 2004).

D. Pengendalian hama Thrips
·            Pengendalian Secara Kimia
Yang dimaksud dengan pengendalian cara kimia adalah bahan yang digunakan sebagai pengendali merupakan senyawa kimia yang bersifat sintetis termasuk insektisida sintetis. Menurut Lewis (1973) dan Mound (komunikasi pribadi 1994), sebenarnya thrips semula cukup peka terhadap jenis insektisida sintetis karena struktur dan komposisi tubuhnya lebih sederhana, bila dibandingkan dengan jenis serangga lain seperti Lepidoptera misalnya. Namun karena penggunaan insektisida sudah sangat berlebih dan ekosistem sudah menjadi ‘jenuh’ (saturated), maka sifat agregasi thrips menjadi tahan (bilamana terjadi pada beberapa generasi maka ketahanan ini dikenal dengan resisten).
Beberapa jenis bahan agrokimia sintetik yang dapat digunakan untuk pengendalian thrips adalah :
-Jenis sintetik pirethroid
-Jenis fosfat organik yang lunak
-Jenis jenis insektisida IGR (insect growth regulator)
-Jenis mercaptodimethur
-Jenis thripstick
Kisaran konsentrasi formulasi yang digunakan adalah 0.10%-0.20%, tergantung pada tingkat serangan yang ditimbulkan thrips.
Pedoman pengendalian secara kimia dilakukan berdasarkan nilai ambang kendali thrips, artinya baru dilakukan aplikasi insektisida bilamana nilai kerusakan total 15% (Moekasan dan Laksminiwati 1996) atau kerusakan kanopi tanaman 10-15% (Dibiyantioro 1994). Nilai ambang kendali ini hendaknya dapat diadopsi oleh petani, karenanya cara perhitungan kerusakan kanopi akan lebih mudah karena tidak memerlukan rumus tertentu. Penggunaan perangkap likat biru dapat membantu mengurangi aplikasi insektisida seperti yang dikemukakan oleh Prabaningrum dalam Duriat dan Sastrosiswojo (1994).
·            Pengendalian Secara Fisik
Pengendalian dengan cara fisisk adalah secara fisik dapat menghalangi atau menghalau thrips hingga tidak banyak berhubungan baik dengan tanaman inang dan medium tumbuh tanaman tersebut. Dapat ditempuh beberapa cara yakni :
-Penggunaan bahan dekstrin 3% (Dibiyantoro 1994): dekstrin adalah senyawa transisi dalam proses perubahan sukrosa-dekstrosa. Dekstrin mampu untuk melapisi permukaan daun hingga menjadi lapisan film, namun tetap transparan hingga tidak mengahalangi terjadinya proses fotositesa dan metabolisme daun. Karena ada lapisan dekstrin, maka thrips akan sukar mendekati dan hinggap pada daun sehubungan dengan sifat tegangan permukaan daun. Demikian pula pada waktu ‘probing’ thrips akan sulit mencari bagian daun yang akan dijadikan titik probing (Dibiyantoro 1994 dan 1997b). Dekstrin sangat kompatibel terhadap senyawa kimia apapun termasuk insektisida dari semua jenis (Dibiyantoro 1997a). Jenis pengendalian fisik lain berupa penggunaan mulsa plasik perak maupun plastik transparan biasa. Secara prinsip, penggunaan mulsa ini, mampu untuk mengurangi tingkat serangan thrips; hal ini disebabkan karena dua faktor berikut, yakni (Dibiyantoro 1994):
-Menghalangi preferensi hinggap pada waktu terbang, karena adanya refleksi cahaya matahari yang dipantulkan mulsa perak, maupun penutup plastik transparan biasa.
-Mengurangi persentase pembentukan pupa dalam tanah. Namun perlu disimak bahwa tidak semua spesies thrips melakukan proses pupasi di dalam tanah.
Refleksi cahaya ditentukan oleh tinggi rendahnya refleksi sinar UV (ultra violet) yang dipantulkan oleh suatu media, misalnya mulsa perak. Sebagai contoh pada refleksi UV sebesar 75% pada panjang gelombang 365 nm (Lewis 1973); Thrips lebih banyak menghindar bilaman dibandingkan dengan jenis media dengan kadar refleksi UV 14% dan panjang gelombang 365 nm. Pengaruh yang serupa akan terjadi pada jenis warna perangkap dan jenis bahan cat.
Cara pengendalian fisik yang lain dengan menggunakan perangkap rekat, dengan kecenderungan warna putih hingga biru, meskipun faktor warna ini juga seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kadar refleksi dan panjang gelombang cahaya juga akan menentukan jumlah penangkapan, thrips terhadap warna yang didasarkan pada alat colorimeter jenis d25m-9 Hunterlab. Kesimpulannya adalah jenis cat bahan pewarna dan kadar refleksi itu sebenarnya yang lebih berperan. Setelah dilakukan uji korelasi antara warna dan jumlah penangkapan maka yang paling tinggi adalah warna hijau jeruk (citrus green-0.93), kemudian kuning, warna fresh parsley dan baru pada akhirnya warna putih. Betapapun Vos (1994) telah melakukan suatu penelitian mengenai perangkap jenis ini yakni hanya warna putih. Sedangkan Dibiyantoro (1997b) hanya menggunakan perangkap sederhana biru muda pucat dengan bahan cata yang banyak mengandung minyak dan alat perangkap ini digunakan untuk suatu patokan indikator aplikasi insektisida. Jumlah populasi thrips pada perangkap juga dapat dijadikan dasar nilai ambang untuk aplikasi insektisida, justru metode ini yang paling mudah diterapkan karena dengan metoda penghitungan populasi untuk nilai ambang kendali akan menambah biaya tenaga kerja.

·   Pengendalian Secara Hayati
Pengendalian hayati merupakan goal yang paling jitu dalam suatu strategi pengendalian hama terpadu, karena nilai tambahnya paling berharga bagi kontribusi keberlanjutan. Secara hayati informasi pengendalian thrips masih sangat kurang, karena sulitnya thrips di’rearing’; hingga dalam strategi PHT hingga tahun 1995 yang ada pada BALITSA baru merupakan pengendalian secara kimiawi. Namun sejak 1995/1996 telah dimulai dengan beberapa teknik pemanfaatan predator (Dibiyantoro 1997b; Prabaningrum dan Sastrosiswojo 1997) dan pestisida biorasional (Hadisoeganda 1997; unpub). Seperti telah diketahui bahwa pengendalian thrips, yang antara lain terdiri dari :
-Penggunaan mikroorganisme : Mikroorganisme yang diketahui efektif baru berupa Beauveria bassianadan Verticillium lecani. Thrips tabacipada tanaman bawang merah mampu ditekan hingga 27-36%, bilamana dibandingkan dengan penggunaan insektisida kimia. Meskipun dalam aplikasinya digunakan pula campuran dekstrin 3% (Dibiyantoro 1994).
-Penggunaan bahan alami pestisida biorasional (Hadisoeganda, 1997): Campuran AGONAL 8:6:6 (bahan  Azadirachta=nimba; Andropogon dan Alpinia galanga=sereh wangi), diketahui merupakan ramuan yang kemangkusannya tinggi untuk mengendalikan baik Thrips plami, Phthorimaea operculelladan penyakit Phytophthora infestanspada tanaman kentang.
-Penggunaan predator Telah dilakukan beberapa penelitian untuk memanfaatkan penggunaan predator baik yang bersifat ‘indigenously predators’ (lokal sejati) maupun ‘imported predators’. Prabaningrum dan Sastrosiswojo (1997) telah berhasil menekan populasi Thripsspp. Dengan menggunakan tungau predator dari negeri Belanda yakni Amblyseius cucumeris. Keberhasilan ini sejalan dengan hasil panelitian Bakker dan Sabelis (1989); Ramakers (1987 dan 1990) di negeri Belenda, tetapi mereka menggunakan Oriusspp. Pada tanaman paprika di rumah kaca dalam skala komersial.
·         Pengendalian Secara terpadu
Dalam kaitannya dengan teknik pengendalian thrips yang sudah diteliti, perlu dilakukan tindakan Pengendalian Terpadu yang kompatibel dan dinilai cukup ekonomis dan secara ekologis akan tetap berlandaskan pada keberlanjutan.
Beberapa strategi PHT thrips yang dapat dilakukan dengan persyaratan kondisi ekologisnya harus merupakan landasan utama dalam mengambil tindakan. Hasil penelitian thrips pada tanaman cabai dan bawang dapat digunakan sebagai percontohan bagi jenis tanaman sayuran lain yang juga tidak luput dari pertimbangan keadaan agroekosistemnya sendiri.
Di daerah Klampok dan Keboledan, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, sebagian kecil petani telah dengan sadar menjalankan keinginan sendiri untuk tidak melakukan aplikasi insektisida pada pertanaman cabai, selama pertanaman bulan Juni-September 1996 dan 1997. Beberapa tindakan penting yang dilakukan petani sesuai dengan percontohan pada penelitian pendukung PHT 1996/1997 adalah sebagai berikut:
-Pelaksanaan pengolahan tanah yang mantap, pencangkulan dan pembersihan yang biasa diistilahkan dengan sanitasi dilakukan dengan prima.
-Penggunaan pupuk berimbang sesuai dengan anjuran hasil penelitian (Duriat et al. 1996).
-Tidak menggunakan insektisida sama sekali sepanjang pertanaman, kecuali bilamana ada serangan ulat  Spodoptera lituradan Helicoverpaspp., hingga aplikasi insektisida secara total hanya sekitar lima kali sepanjang waktu pertanaman. Petak penelitian pendukung PHT tahun 1996 di Klampok telah membuktikan bahwa demikian banyak jenis predator thrips yang jelas berperan memangsa langsung hama-hama thrips dan aphids yang dapat disaksikan sendiri oleh petani. Dalam hal ini perlu dilakukan penelitian nilai berbeda lebih lanjut, sebab menurut petani pertanaman 1996 tidak banyak berbeda hasil panen yang diperoleh dibandingkan dengan hasil panen tahun-tahun sebelumnya (panen berkurang 7%).
-Masih perlu adanya jenis mulsa perak yang lebih murah untuk digunakan petani, pemasangan mulsa dikombinasikan dengan pemasangan perangkap akan lebih meningkatkan effisiensi daya guna predator.
-Perlu diketahui kegunaan tanaman barrier seperti jagung dll, untuk mengurangi serangan thrips.
-Perlu ditemukan jenis mikroorganisme yang mudah diperbanyak sendiri oleh petani, sebab jenis  Beauveriadan  Verticilliummemerlukan pekerjaan dan ketekunan pekerjaan di laboratorium yang tinggi.
-Adanya potensi predator atau musuh alami yang sudah ada pada ekosistem itu sendiri sudah saatnya untuk lebih dieksploitasi, mengingat peran bioregulator ini akan sangat berharga dalam kondisi alam sebenarnya dengan persyaratan pada kondisi ekosistem yang belum jenuh akan pestisida. Karena itu perlu digali lebihlanjut teknologi yang dapat diterapkan untuk aplikasi pendayagunaan predator/musuh alami tersebut.

2.2.3 Ulat Tanah (Agrotis ipsilon Hufn.)
A. Klasifikasi
Kingdom            : Animalia
Filum                  : Arthropoda
Kelas                  : Insecta
Ordo                   : Lepidoptera
Famili                  : Noctuidae
Genus                 : Agrotis
Spesies               : Agrotis ipsilon


B. Bioekologi
Telur diletakkan satu-satu atau dalam kelompok. Bentuk telur seperti kerucut terpancung dengan garis tengah pada bagian dasarnya 0,5 mm. Seekor betina dapat meletakkan 1.430 - 2.775 butir telur. Warna telur mula-mula putih lalu berubah menjadi kuning, kemudian merah disertai titik coklat kehitam-hitaman pada puncaknya. Titik hitam tersebut adalah kepala larva yang sedang berkembang di dalam telur. Menjelang menetas, warna telur berubah menjadi gelap agak kebiru-biruan. Stadium telur berlangsung 4 hari.




Larva menghindari cahaya matahari dan bersembunyi di permukaan tanah kira-kira sedalam 5 - 10 cm atau dalam gumpalan tanah. Larva aktif pada malam hari untuk menggigit pangkal batang.  Larva yang baru keluar dari telur berwarna kuning kecoklat-coklatan dengan ukuran panjang berkisar antara 1 - 2 mm.  Sehari kemudian larva mulai makan dengan menggigit permukaan daun.  Larva mengalami 5 kali ganti kulit.  Larva instar terakhir berwarna coklat kehitam­-hitaman.  Panjang larva instar terakhir berkisar antara 25 - 50 mm.  Bila larva diganggu akan melingkarkan tubuhnya dan tidak ­bergerak seolah-olah mati.  Stadium larva berlangsung sekitar 36 hari. 
Pembentukan pupa terjadi di permukaan tanah. Pupa berwarna cokelat terang atau cokelat gelap. Lama stadia pupa 5 – 6 hari.


 Imago. Umumnya ngengat Famili Noctuidae menghindari cahaya matahari dan bersembunyi pada permukaan bawah daun.  Sayap depan berwarna dasar coklat keabu-abuan dengan bercak-bercak hitam.  Pinggiran sayap depan berwarna putih.  Warna dasar sayap belakang putih keemasan dengan pinggiran berenda putih.  Panjang sayap depan berkisar 16 -19 mm dan lebar 6 - 8 mm. Ngengat dapat hidup paling lama 20 hari. Apabila diganggu atau disentuh, ngengat menjatuhkan diri pura-pura mati. Perkembangan dari telur hingga serangga dewasa rata-rata berlangsung 51 hari.


C. Gejala Serangan
Larva merupakan stadia perusak yang aktif pada malam hari untuk mencari makan dengan menggigit pangkal batang. Tanaman yang terserang adalah tanaman-tanaman muda. Pangkal batang yang digigit akan mudah patah dan mati. Di samping menggigit pangkal batang, larva yang baru menetas, sehari kemudian juga menggigit permukaan daun. Ulat tanah sangat cepat pergerakannya dan dapat menempuh jarak puluhan meter.  Seekor larva dapat merusak ratusan tanaman muda

D. Pengendalian Ulat Tanah
a).  Kultur teknis
             Pengolahan tanah yang baik untuk membunuh pupa yang ada di dalam tanah. Sanitasi dengan membersihkan lahan dari gulma yang juga merupakan tempat ngengat A. ipsilon meletakkan telurnya.
 b).  Pengendalian fisik / mekanis
              Pengendalian secara fisik dengan mengumpulkan larva dan selanjutnya dimusnahkan. Sebaiknya dilakukan pada senja – malam hari, dan larva biasanya dijumpai di permukaan tanah sekitar tanaman yang terserang.
 c). Pengendalian hayati
              Pemanfaatan musuh alami : parasitoid larva A. ipsilon yaitu Goniophana heterocera, Apanteles (= Cotesia) ruficrus, Cuphocera varia dan Tritaxys braueri. Predator penting adalah  Carabidae. Patogen penyakit yang sering menyerang A. ipsilon adalah jamur Metharrizium spp. dan Botrytis sp. serta nematoda Steinernema sp.
  d). Pengendalian kimiawi
               Apabila serangan ulat tanah tinggi, dapat dilakukan penyemprotan dengan insektisida yang efektif, Pestisida yang digunakan adalah pestisida dengan bahan aktif kuinalfos.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Tempat dan Waktu Pengamatran
Tempat                        : Kecamatan Bumiaji Kota Batu
Waktu                          : 13.00 – 14.00 WIB
Hari / Tanggal          : Sabtu, 28 September 2013

3.1 Hasil Pengamatan
Berdasarkan pengamatan di lahan Bawang Merah yang ada di Kecamatan Bumiaji Kota Batu, ditemukan beberapa hama areal pertanaman bawang merah. Beberapa hama yang ditemukan merupakan hama penting tanaman bawang merah, contoh Ulat Bawang  (Spodoptera litura) dan Ulat Tanah (Agrotis ipsilon Hufn.)

No
Hama
Gejala serangan
Cara pengendalian
1
Ulat Bawang
 (Spodoptera litura)





·        Terdapat  bercak-bercak putih transparan pada daun
·        Daun terlukai dan kering
·         Secara biologi yaitu dengan memanfaatkan musuh alami seperti beberapa spesies predator dari S. litura adalah Solenopsis sp, Paedorus sp, Euberellia sp, Lycosa sp, dan laba-laba.
·         Secara kultur teknis dengan sanitasi, pengolahan tanah, pemupukan berimbang, penggunaan milsa, penggunaan tanaman perangkap.
·         Secara kimiawi dengan menggunakan insektisida dengan bahan aktif deltametrin


2
Hama Thrips tabaci
·   Terdapat bercak-bercak yang berwarna putih seperti perak
·   Ujung daun kering, kemudian daunnya mengering semua
·      Secara Kimia  dengan  bahan agrokimia sintetik seperti  insektisida IGR (insect growth regulator)
·      Secara Fisik dengan menghalangi atau menghalau thrips hingga tidak banyak berhubungan baik dengan tanaman inang dan medium tumbuh tanaman, seperti Penggunaan bahan dekstrin 3%.
·      Secara hayati dengan menggunakan presator, mikroorganisme, dan  pestisida biorasional.
·      Pengendalian secara terpadu.
3
Ulat Tanah
(Agrotis ipsilon Hufn.)

·  Pangkal batang yang digigit akan mudah patah dan mati.
·  merusak ratusan tanaman muda.
·  Kultur teknis dengan  Pengolahan tanah yang baik untuk membunuh pupa yang ada di dalam tanah.
·  secara fisik dengan mengumpulkan larva dan selanjutnya dimusnahkan.
·  Secara hayati  dengan musuh alami seperti Goniophana heterocera, ruficrus, Cuphocera varia dan Tritaxys braueri. Predator penting seperti  Carabidae. Dan dengan Patogen penyakit seperti jamur Metharrizium spp. dan Botrytis sp. serta nematoda Steinernema sp.
·  Secara kimia dengan menggunakan  pestisida dengan bahan aktif kuinalfos.













KESIMPULAN

Pada survey yang kami lakukan di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, ditemukan beberapa organisme yang termasuk kedalam OPT tanaman Bawang Merah. Diantaranya adalah Ulat Bawang (Spodoptera litura) dan Ulat Tanah (Agrotis ipsilon Hufn.).
Dengan semakin banyaknya OPT tersebut, maka diperlukan beberapa cara pengendalian hama tanaman bawang merah. Diantaranya Secara kultur teknis, yaitu mengolah tanah untuk membunuh pupa yang ada di dalam tanah. Secara hayati, yaitu dengan musuh alami. Secara mekanis, yaitu seperti mengumpulkan hama dan memusnahkannya. Secara kimiawi, yaitu menggunakan obat-obatan atau pestisida dan dengan cara penerapan pengendalian hama terpadu.

















DAFATAR PUSTAKA

Anonymous a. 2013. Gambar Bawang Merah. (online) (http://id.wikipedia.org/wiki/Bawang_ merah). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous b. 2013. Gambar Ular Grayak. (online) (http://genomebiology.com /2003/4/7/221/figure/F1) Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous c. 2013. Gambar Thrips tabaci. (online) (http://web.entomology.cornell.edu /shelton/veg-insects-global/graphics/thrips/thrips2gif.html). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous d. 2013. Gambar Telur & Nimfa Thrips. (online) (www.uidaho.edu/so-id/entomology/thrips.jpg). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous e. 2013. Gambar Telur & Instar Thrips. (online) (http://buletinagraris.blogspot .com/2007/12/thrips-parvisipinus-hrips-parvisipinus.html). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous g. 2013. Gambar Ulat Tanah. (online) (http://entnemdept.ufl.edu /creatures/veg/blackcutworm.html). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous h. 2013. Gambar Telur Ulat Tanah. (online) (http://infohamapenyakittumbuhan .blogspot.com/2012/ 04/agrotis-ipsilon-ulat-tanah.html). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous i. 2013a. Gambar Pupa Ulat Tanah. (online) (http://infohamapenyakittumbuhan .blogspot.com/2012/04/agrotis-ipsilon-ulat-tanah.html). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous j. 2013b. Gambar Pupa Ulat Tanah. (online) (http://infohamapenyakittumbuhan .blogspot.com/2012/04/agrotis-ipsilon-ulat-tanah.html). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous k. 2013. Gambar Ngengat. (online) (http://infohamapenyakittumbuhan .blogspot.com/2012/04/agrotis-ipsilon-ulat-tanah.html). Diakses 03 Oktober 2013
Dibiyantoro, A.L.H. 1994. Management Of Thrips tabaci Lind. With Special Reference On Garlic (A. Sativum L). PhD. 3 rd-Year Report. 1994. Univ. Newcastle. UK. P: 23-25
Direktorat Perlindungan Hortikultura Kementrian Pertanian. 2013. (http://ditlin.hortikultura. deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=73&Itemid=195). Diakses 08 oktober 2013
Hadisoeganda W.W. 1997. Peranan Pestisida Biorasional Dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan. Seminar ‘Sumbang Pikir para Ahli Peneliti Hortikultura’ di BALITSA. Lembang, 4-6 Oktober 1997.
Hanifah N. 2011. Analisis Hama Ulat Bawang (Spodoptera Exigua) Pada Tanaman Bawang Merah (Allium cepa). (online) (http://s3.amazonaws.com/ppt-download/opt-120801114414-phpapp01.doc?response-contentdisposition=attachment&Signature=eipf RYAbNnRW4uXPM7HYyDmbWrc%3D&Expires=1381243502&AWSAccessKeyId=AKIAIW74DRRRQSO4NIKA) Diakses 08 oktober 2013
Ilhamdani. 2012. Bioekologi Ulat Tanah (Agrotis ipsilon). (online) (http://ruangpertaniandanpuisi-puisi.blogspot.com/2012/12/bioekologi-ulat-tanah-agrotis-ipsilon.html). Diakses 08 oktober 2013
Jaelani. 2007. Khasiat Bawang Merah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Laksanawati, Anna. 1998. Thrips Pada Tanaman Sayuran. (online) (http://balitsa.litbang.deptan.go.id/ind/images/isi_monografi/M-11.pdf). Diakses 08 oktober 2013
Lewis, T. 1973. Thrips, their biology, ecology and economic impotance. Academic Press. London and New York. 344 pp.
Mound, L.A; G.D. Morison; B.R. Pitkin and J.M. Palmer. 1976. Thysanoptera. In: Handbooks For The Identification Of British Insects. (A. Watson:eds). 1(11):79 p.
Nurhayati, Hanifah. 2011. Analisis Hama Ulat Bawang pada Tanaman Bawang Merah.
Prabaningrum L. dan S. Sastrosiswojo. 1997. Kemampuan Pemangsaan Predator Amblyseius Cucumeristerhadap Thrips Parvispinus dan Polyphagotarsonemus Latuspada Tanaman Cabai Di Laboratorium. Jurn.Hort.7(2):678-684.
Rahayu, Estu. 2008. Bawang Merah. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rukmana, Rahmat. 1994. Bawang Merah, Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Saung. 2011. Biologi dan Siklus Hidup Hama Thrips. (online) (http://saungsumberjambe .blogspot.com/2011/08/thrips-thrips-sp.html). Diakses 08 Oktober 2013.
Wibowo, Singgih. 2006. Budi Daya Bawang Putih, Merah, dan Bombay. Jakarta: Penebar Swadaya.

Zuraya, Nidia. 2013. Produksi Bawang Merah di Cirebon Menurun. Republika Online, Senin, 8 Juli 2013. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/ 13/07/08/ mpli5q-produksi-bawang-merah-di-cirebon-turun). Diakses 3 Oktober 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar