BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Bawang merah (Allium cepa) adalah tanaman yang
termasuk dalam famili Alliaceae. Bawang merah
merupakan salah satu komoditas hortikultura yang sangat diperlukan
manusia, yang biasanya digunakan sebagai bumbu masakan dan penyedap rasa.
Selain itu, bawang merah mempunyai manfaat untuk kesehatan, antara lain untuk
menyembuhkan sariawan dan demam, menyehatkan jantung, mengatasi sembelit, dan
banyak manfaat lainnya (Jaelani, 2007), karena bawang merah diyakini mengandung
gizi dan senyawa yang terolong zat non gizi serta enzim yang bermanfaat untuk terapi,
serta meningkatkan dan mempertahankan kesehatan tubuh manusia.
Bawang merah
diduga berasal dari Asia Tengah dan Asia Tenggara. Oleh karena itu, tanaman
bawang merah sangat mudah dijumpai di Indonesia. Di Indonesia, sentra penanaman
dan diduga pula sebagai daerah penyebaran bawang merah adalah Tegal, Cirebon,
Pekalongan, Wates (Yogyakarta), Brebes, Solo, Nganjuk, dan Probolinggo
(Rukmana, 1994).
Akhir-akhir ini,
produksi bawang merah menurun. Di Cirebon, produksi bawang merah mengalami
penurunan yang cukup tinggi. Menurut salah satu petani, penyebab utama
penurunan produksi bawang merah adalah karena hujan yang berkepanjangan dan
serangan hama penyakit (Zuraya, 2013). Jenis hama yang sering menyerang tanaman
bawang merah salah satunya adalah ulat bawang (Spodoptera exiqua). Kehilangan hasil akibat serangan ulat ini bisa
mencapai 57% karena terjadi sejak fase pertumbuhan sampai dengan fase
pematangan umbi (Nurhayati, 2011). Selain ulat bawang, hama lain juga dapat
menurunkan produksi bawang merah. Hama-hama tersebut akan dibahas dalam makalah
ini.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui hama apa saja yang ada
pada tanaman bawang merah di lahan warga
2. Untuk mengidentifikasi hama yang
ditemukan di lahan warga
3. Untuk mengetahui cara pengendalian hama
yang ditemukan di lahan warga
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Bawang Merah (Allium cepa)
Bawang merah, yang
lebih dikenal dengan nama brambang (Jawa) dan bawang beureum (Sunda), sedangkan
dalam bahasa Inggris disebut shallot. Bawang merah berasal dari
Asia/Mediterania. Bawang merah dibedakan atas bawang merah, bawang merah
shallot, dan bawang bakung. Ketiga macam bawang merah ini berasal dari daerah
tropika di Asia. Bentuk umbi bawang merah shallot (brambang) lebih kecil dari
bawang merah yang lain.
Di Indonesia, Pulau Jawa
merupakan daerah sentra produksi dan pengembangan bawang merah dataran rendah.
Sentra penanaman di Jawa Timur antara lain: Malang, Nganjuk, Probolinggo, dan
Kediri. Di Jawa Tengah antara lain: Tegal, Brebes dan Wates. Sedangkan di Jawa
Barat antara lain: Majalengka, Kuningan dan Cirebon. Daerah di luar Jawa yang
merupakan sentra bawang merah adalah Samosir (Sumatra Utara) dan Lombok Timur.
Klasifikasi:
Kingdom :
Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom :
Tracheobionta
Super Divisi :
Spermatophyta
Divisi :
Magnoliophyta
Kelas
:Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas :
Liliidae
Ordo :
Liliales
Spesies :
Allium cepa
Tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.)
merupakan salah satu komoditas sayuran dataran rendah, berasal dari Syria dan
telah dibudidayakan semenjak 5.000 tahun yang lalu. Bawang merah merupakan
tanaman semusim yang memiliki umbi yang berlapis, berakar serabut, dengan daun
berbentuk silinder berongga. Umbi bawang merah terbentuk dari pangkal daun yang
bersatu dan membentuk batang yang berubah bentuk dan fungsi, membesar dan
membentuk umbi. Umbi terbentuk dari lapisan-lapisan daun yang membesar dan
bersatu. Tanaman ini dapat ditanam di daratan rendah sampai daratan tinggi yang
tidak lebih dari 1200 m dpl. Di daratan tinggi umbinya lebih kecil dibanding
daratan rendah.
Kegunaan utama bawang merah adalah sebagai
bumbu masak. Meskipun bukan merupakan kebutuhan pokok, bawang merah cenderung
selalu dibutuhkan sebagai pelengkap bumbu masak sehari-hari. Kegunaan lainnya
adalah sebagai obat tradisional (sebagai kompres penurun panas, diabetes,
penurun kadar gula dan kolesterol darah, mencegah penebalan dan pengerasan
pembuluh darah dan maag) karena kandungan senyawa allin dan allisin yang
bersifat bakterisida (Rahayu,Estu. 2008).
Adapun teknik budidaya bawang merah menurut
Singgih Wobowo (2008) yaitu harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
1) Syarat Tumbuh Bawang Merah
Bawang merah dapat tumbuh pada tanah sawah
atau tegalan, berstruktur remah, dan bertekstur sedang sampai liat. Jenis tanah
Alluvial, Glei Humus atau Latosol, pH 5.6 - 6.5. Tanaman bawang merah
memerlukan udara hangat untuk pertumbuhannya (25 s/d 320C), curah hujan 300
sampai 2500 mm pertahun, ketinggian 0-400 mdpl, dan kelembaban 50-70 %.
2) Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dilakukan dengan tujuan
untuk menciptakan lapisan tanah yang gembur, memperbaiki drainase dan aerasi
tanah, meratakan permukaan tanah, dan mengendalikan gulma. Tanah dibajak atau
dicangkul dengan kedalaman 20 cm, kemudian dibuat bedengan selebar 120 - 175
cm, tinggi 25 - 30 cm, serta panjang sesuai disesuaikan dengan kondisi lahan.
Saluran drainase dibuat dengan lebar 40 - 50 cm dan kedalaman 50 - 60 cm.
Apabila pH tanah kurang dari 5,6 diberi Dolomit dosis + 1,5 ton/ha disebarkan
di atas bedengan dan diaduk rata dengan tanah lalu biarkan 2 minggu. Untuk
mencegah serangan penyakit layu taburkan GLIO 100 gr (1 bungkus GLIO) dicampur
25-50 kg pupuk kandang matang, diamkan 1 minggu lalu taburkan merata di atas
bedengan.
3) Penyediaan Bibit
Pada umumnya perbanyakan bawang merah
dilakukan dengan menggunakan umbi sebagai bibit. Kualitas umbi bibit merupakan
salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya hasil produksi bawang merah.
Umbi yang baik untuk bibit harus berasal dari tanaman yang cukup tua yaitu
berumur 70 - 80 hari setelah tanam, dengan ukuran sedang (beratnya 5 - 10 gram,
diameter 1,5 - 1,8 cm). Umbi bibit tersebut harus terlihat segar dan sehat,
tidak keriput, dan warnanya cerah. Umbi bibit telah siap tanam apabila telah
disimpan 2 - 4 bulan sejak dipanen dan tunasnya sudah sampai ke ujung umbi.
4) Penanaman dan Pemberian Pupuk Dasar
Setelah tanah selesai diolah selanjutnya
dilakukan kegiatan pemupukan. Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk organik
yang sudah matang seperti pupuk kandang sapi dengan dosis 10-20 ton/ha atau
pupuk kandang ayam dengan dosis 5-6 ton/ha, atau kompos dengan dosis 4-5
ton/ha. Selain itu pupuk P (SP-36) dengan dosis 200-250 kg/ha diberikan 2-3
hari sebelum penanaman.
Umbi bibit ditanam dengan jarak 10 cm x 20
cm atau 15 cm x 15 cm. Lobang tanaman dibuat setinggi umbi dengan menggunakan
alat penugal. Umbi bawang merah dimasukkan ke dalam lobang tanaman dengan
gerakan seperti memutar sekrup, hingga ujung umbi tampak rata dengan permukaan
tanah. Setelah tanam dilakukan penyiraman dengan menggunakan embrat yang halus.
5) Pemupukan Susulan
Pemupukan susulan dilakukan pada umur 10-15
hari dan umur 30-35 hari setelah tanam. Jenis dan dosis pupuk yang diberikan
adalah : Urea 75-100 kg/ha, ZA 150-250 kg/ha, Kcl 75-100 kg/ha. Pupuk diaduk
rata dan diberikan di sepanjang garitan tanaman.
6) Pengairan
Tanaman bawang membutuhkan air yang cukup
dalam pertumbuhannya. Penyiraman pada musim kemarau dilakukan 1 kali dalam
sehari pada pagi hari atau sore, sejak tanam sampai menjelang panen.
7) Menyiangan dan Pembumbunan
Menyiang dilakukan sesuai dengan kondisi
gulma, minimal dilakukan dua kali/musim, yaitu menjelang dilakukannya pemupukan
susulan. Kegiatan membumbun dilakukan saat tanaman umur 30 dan 45 hari setelah
tanam atau disesuaikan dengan kondisi umbi sampai muncul ke permukaan tanah.
8) Pengendalian Hama dan Penyakit
Hama dan penyakit yang sering menyerang
tanaman bawang merah adalah ulat tanah, ulat daun, ulat grayak, kutu daun,
nematoda akar, bercak ungu alternaria, embun tepung, busuk leher batang,
otomatis/ antraknose, busuk Umbi, layu fusarium dan busuk basah.
9) Panen dan Pasca Panen
Bawang merah dipanen apabila umurnya sudah
cukup tua, biasanya pada umur 60-70 hari setelah tanam. Tanaman bawang merah
dipanen setelah terlihat tanda-tanda 60-70% daun telah rebah atau leher batang
lunak, sedangkan untuk bibit kerebahan daun lebih dari 90%. Panen dilakukan
waktu udara cerah. Pada waktu panen, bawang merah diikat dalam ikatan-ikatan
kecil (1-1.5 kg/ikat), kemudian dijemur selama 5-7 hari). Setelah kering
(penjemuran 5-7 hari), 3-4 ikatan bawang merah diikat menjadi satu, kemudian
bawang dijemur dengan posisi penjemuran bagian umbi di atas selama 3-4 hari.
Pada penjemuran tahap kedua dilakukan pembersihan umbi bawang dari tanah dan
kotoran. Bila sudah cukup kering (kadar air kurang lebih 85 %), umbi bawang
merah siap dipasarkan atau disimpan di gudang.
10) Kriteria Kualitas Bawang Merah
Kriteria kualitas bawang merah yang
dikehendaki oleh konsumen rumah tangga adalah : umbi berukuran besar, bentuk
umbi bulat, warna kulit merah keunguan, dan umbi kering askip. Sedangkan
konsumen luar (untuk ekspor) yang dikehendaki adalah : umbi berukuran besar,
bentuk umbi bulat, wana kulit merah muda, dan umbi kering lokal.
2.2
Hama dan Pengendaliannya
2.2.1 Ulat
Bawang (Spodoptera
exigua)
A. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Subfamili : Amphipyrinae
Spesies : Spodoptera exigua
B. Bioekologi
Rentangan sayap ngengat
panjangnya antara 25 – 30 mm. Sayap depan berwarna coklat tua dengan
garis-garis yang kurang tegas dan terdapat pula bintik-bintik hitam.
Sayap belakang berwarna keputih-putihan dan tepinya bergaris-garis hitam.
Ngengat betina mulai bertelur pada umur 2 – 10 hari.
Telur berbentuk bulat
sampai bulat panjang, diletakkan oleh induknya dalam bentuk kelompok pada
permukaan daun atau batang dan tertutup oleh bulu-bulu atau sisik dari
induknya. Tiap kelompok telur maksimum terdapat 80 butir. Jumlah telur
yang dihasilkan oleh seekor ngengat betina sekitar 500 – 600 butir.
Setelah 2 hari telur menetas menjadi larva.
Larva atau ulat muda
berwarna hijau dengan garis-garis hitam pada punggungnya. Ulat tua
mempunyai beberapa variasi warna, yaitu hijau, coklat muda dan hitam
kecoklatan. Ulat yang hidup di dataran tinggi umumnya berwarna coklat.
Stadium ulat terdiri
dari 5 instar. Instar pertama panjangnya sekitar 1,2 – 1,5 mm, instar
kedua sampai instar terakhir antara 1,5 – 19 mm. Setelah instar terakhir ulat
merayap atau menjatuhkan diri ke tanah untuk berkepompong. Ulat lebih
aktif pada malam hari. Stadium larva berlangsung selama 8 – 10 hari.
Pupa berwarna coklat
muda dengan panjang 9 – 11 mm, tanpa rumah pupa. Pupa berada di dalam
tanah dengan kedalaman + 1 cm, dan sering dijumpai juga pada pangkal
batang, terlindung di bawah daun kering, atau di bawah partikel tanah.
Pupa memerlukan waktu 5 hari untuk berkembang menjadi ngengat.
Hama ulat bawang
tersebut menyebar di daerah sentra produksi bawang merah di Sumatera, Jawa, Nusa
Tenggara Barat dan Irian.
C. Gejala Serangan
Ulat bawang dapat menyerang tanaman
sejak fase pertumbuhan awal (1-10 hst) sampai dengan fase pematangan umbi
(51-65 hst). Ulat muda (instar 1) segera melubangi bagian ujung daun, lalu
masuk ke dalam daun bawang. Ulat memakan permukaan daun bagian dalam, dan
tinggal bagian epidermis luar. Daun bawang terlihat menerawang tembus cahaya
atau terlihat bercak-bercak putih transparan, akhirnya daun terkulai.
D. Pengendalian hama
ulat bawang
Prinsip
pengendalian hama tanaman yang di kembangkan oleh manusia dewasa ini adalah
menekan jumlah populasi hama yang menyerang tanaman sampai pada tingkat
populasi yang tidak merugikan. Komponen pengendalian hama yang dapat di
terapkan untuk mencapai sasaran tersebut antara lain pengendalian hayati,
pengendalian secara fisik dan mekanik, pengendalian secara kultur teknis dan
pengendalian secara kimiawi.
a. Pengendalian
Hayati
Suatu teknik pengendalian hama secara biologi
yaitu dengan memanfaatkan musuh alami seperti prodator, parasitoid dan
pathogen. Keuntungan pengendalian hayati ini adalah aman, tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan dan tidak menyebabkan resistensi. Beberapa spesies
predator dari S. litura adalah Solenopsis sp, Paedorus sp, Euberellia sp,
Lycosa sp, dan laba-laba.
b. Pengendalian
Secara Kultur Teknis
Pengendalian
serangga hama dengan memodifikasi kegiatan pertanian agar lingkungan pertanian
menjadi tidak menguntungkan bagi perkembangan hama. Usaha-usaha tersebut
mencakup sanitasi, pengolahan tanah, pergiliran tanaman, pemupukan berimbang,
penggunaan mulsa, penggunaan tanaman perangkap.
c. Pengendalian
Kimiawi
Usaha
mengendalikan hama dengan menggunakan bahan kimia pestisida yang mempunyai daya
racun terhadap serangga hama yang di sebut Insektisida. Pengendalian dengan
kimiawi menggunakan Insektisida dengan bahan aktif deltametrin
Pengendalian
ulat bawang pada tanaman bawang merah hingga saat ini masih mengandalkan
penggunaan insektisida secara intensik baik dengan meningkatkan dosis maupun dengan
meningkatkan interval waktu penyemprotan dengan system kelender.
2.2.2 Hama Thrips tabaci
A. Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Phylum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Thysanoptera
Famili
: Thripidae
Genus
: Thrips
Spesies
: Thrips
tabaci Lindeman
B. Bioekologi
·
Biologi
Thrips
pada bawang merah termasuk sub
ordo Terebrantia yaitu thrips tabaci. Pada sub ordo
ini
terdapat
ovipositor
yang berfungsi untuk
menusuk
dan meletakkan telur kedalam jaringan tanaman. Thrips panjang tubuhnya 1-2 mm berwarna hitam, datar, langsing dan mengalami metamorfosis sederhana/ setengah sempurna yaitu mulai dari telur
kemudian nimfa/thrips muda
berwarna
putih atau
kuning baru setelah
itu menjadi thrips dewasa sebelum mengalami dua sampai empat
instar.
Thrips
dapat berkembang biak secara generatif
(kawin) maupun vegetatif melalui proses
Phartenogenesis, misalnya
thrips yang mengalami phartenogenesis adalah Thrips tabaci yang menyerang tembakau. Perkembangbiakan secara phartenogenesis akan menghasilkan serangga-serangga jantan. Menurut Kalshoven
(1981) bahwa imago betina Thrips dapat
meletakkan telur sekitar 15 butir secara
berkelompok kedalam jaringan epidhermal daun tanaman dengan masa inkubasi telur sekitar 7 hari.
·
Telur
Telur dari hama ini berbentuk oval atau
bahkan mirip
seperti ginjal pada manusia, imago betina akan memasukkka n telurnya ke dalam jaringan epidhermal
daun dengan bantuan ovipositornya yang tajam. Ukuran telurnya sangat kecil maka
sering tak terlihat dengan mata telanjang. Telur ini
diletakkannya dalam jumlah yang
besar,dengan rata-rata 80 butir tiap induk. letak telur akan mudah
diketahui dengan memperhatikan bekas tusukan pada bagian
tanaman tersebut dan biasanya disekitar
jaringan tersebut terdapat pembengkakan. Telur-telur
ini akan menetas sekitar 3 atau7 hari setelah pelatakan oleh imago betina (Direktorat Perlindungan Tanaman, 1992).
Bila
kondisi menguntungkan dan makanan cukup tersedia, maka seekor trips betina
mampu meletakkan telur 200–250 butir. Telur berukuran sangat kecil, biasanya
diletakkan di jaringan muda daun, tangkai kuncup dan buah.
·
Nimfa
Thrips muda atau nimfa akan berwarna putih
pucat atau pucat kekuningan sampai
kepada berwarna jernih. Biasanya Thrips muda ini gerakannya masih sangat lambat dan pergerakannya hanya terbatas pada tempat dimana dia memperoleh
makanan. Nimfa terdiri dari
empat instar, dan Instar pertama sudah mulai menyerang
tanaman. sayap baru akan terlihat pada masa pra-pupa. Daur hidup sekitar 7-12 hari ( Direktorat Perlindungan Tanaman, 1992).
Nimfa
trips instar pertama berbentuk seperti kumparan, berwarna putih jernih dan
mempunyai 2 mata yang sangat jelas berwarna merah, aktif bergerak memakan jaringan
tanaman. Sebelum memasuki instar kedua warnanya berubah menjadi kuning
kehijauan, berukuran 0,4 mm, kemudian berganti kulit.
Pada
instar kedua ini trips aktif bergerak mencari tempat yang terlindung, biasanya
dekat urat daun atau pada lekukan-lekukan di permukaan bawah daun. Trips instar
ke dua berwarna lebih kuning, panjang 0,9 mm dan aktifitas makannya meningkat.
Pada akhir instar ini, trips biasanya mencari tempat di tanah atau timbunan
jerami di bawah kanopi tanaman. Pada stadium prapupa maupun pupa, ukuran trips
lebih pendek dan muncul 2 pasang sayap dan antena, aktifitas makan berangsur
berhenti
·
Imago
Imago akan bergerak lebih
cepat dibanding dengan
nimfanya, telah
memiliki
sayap
yang ukurannya relatif panjang
dan sempit, imago
ini tubuhnya berwarna
kuning pucat sampai
kehitam-hitaman. Serangga dewasa berukuran 1-2 mm. Imago betina dapat
bertelur
sampai
80 butir yang diletakkannya ke
dalam
jaringan epidhermal daun
dengan bantuan ovipositornya yang tajam.( Direktorat Perlindungan Tanaman, 1992).
Pada
Imago, panjang sayap melebihi panjang perutnya. Ukuran trips betina 0,7–0,9 mm,
trips jantan lebih pendek. Dalam satu tahun terdapat 8–12 generasi. Pada musim
kemarau, perkembangan telur sampai dewasa 13–15 hari dan stadium dewasa
berkisar 15–20 hari. bila suhu di sekitar tanaman meningkat, maka trips akan
berkembang sangat cepat.
C. Gejala Serangan
Pada permukaan daun akan terdapat
bercak-bercak yang berwarna putih seperti perak. Hal ini terjadi karena
masuknya udara ke dalam jaringan sel-sel yang telah dihisap cairannya oleh hama
Thrips tersebut. Apabila bercak-bercak tersebut saling berdekatan dan akhirnya
bersatu maka daun akan memutih seluruhnya mirip seperti warna perak. Lama
kelamaan bercak ini akan berubah menjadi warna coklat dan akhirnya daun akan
mati.. Jadi pada umumnya bagian tanaman yang diserang oleh Thrips ini adalah
pada daun, kuncup, tunas yang baru saja tumbuh, bunga serta buah cabai yang
masih muda (Setiadi, 2004).
Tanaman bawang merah yang pertumbuhannya
lemah sering sekali mendapat serangan, hal ini dikarenakan ketebalan
epidermisnya yang kurang atau tidak normal. Maka akan terjadi pertumbuhan yang
abnormal sehingga pembentukan bunga dan buah akan terhambat.Seperti yang
dijelaskan diatas bahwa hama Thrips ini sudah menyerang tanaman bawang merah
dimulai saat nimfa sampai kepada imago. Artinya begitu telur menetas menjadi
nimfa maka akan langsung menghisap cairan tanaman. Nimfa biasanya bergerak jauh
lebih lambat daripada imago, hal ini penting untuk membedakan antara imago
dengan nimfa, Kotoran hama ini yang berbentuk seperti tetes hitam dapat
menutupi jaringan daun yang diserangnya sehingga daun berubah menjadi hitam
(Setiadi, 2004).
D. Pengendalian hama
Thrips
·
Pengendalian Secara
Kimia
Yang dimaksud dengan
pengendalian cara kimia adalah bahan yang digunakan sebagai pengendali
merupakan senyawa kimia yang bersifat sintetis termasuk insektisida sintetis.
Menurut Lewis (1973) dan Mound (komunikasi pribadi 1994), sebenarnya thrips
semula cukup peka terhadap jenis insektisida sintetis karena struktur dan
komposisi tubuhnya lebih sederhana, bila dibandingkan dengan jenis serangga
lain seperti Lepidoptera misalnya. Namun karena penggunaan insektisida sudah
sangat berlebih dan ekosistem sudah menjadi ‘jenuh’ (saturated), maka sifat
agregasi thrips menjadi tahan (bilamana terjadi pada beberapa generasi maka
ketahanan ini dikenal dengan resisten).
Beberapa jenis bahan
agrokimia sintetik yang dapat digunakan untuk pengendalian thrips adalah :
-Jenis sintetik
pirethroid
-Jenis fosfat organik
yang lunak
-Jenis jenis
insektisida IGR (insect growth regulator)
-Jenis mercaptodimethur
-Jenis thripstick
Kisaran konsentrasi
formulasi yang digunakan adalah 0.10%-0.20%, tergantung pada tingkat serangan
yang ditimbulkan thrips.
Pedoman pengendalian
secara kimia dilakukan berdasarkan nilai ambang kendali thrips, artinya baru
dilakukan aplikasi insektisida bilamana nilai kerusakan total 15% (Moekasan dan
Laksminiwati 1996) atau kerusakan kanopi tanaman 10-15% (Dibiyantioro 1994).
Nilai ambang kendali ini hendaknya dapat diadopsi oleh petani, karenanya cara
perhitungan kerusakan kanopi akan lebih mudah karena tidak memerlukan rumus
tertentu. Penggunaan perangkap likat biru dapat membantu mengurangi aplikasi
insektisida seperti yang dikemukakan oleh Prabaningrum dalam Duriat dan
Sastrosiswojo (1994).
·
Pengendalian Secara
Fisik
Pengendalian dengan cara fisisk adalah
secara fisik dapat menghalangi atau menghalau thrips hingga tidak banyak
berhubungan baik dengan tanaman inang dan medium tumbuh tanaman tersebut. Dapat
ditempuh beberapa cara yakni :
-Penggunaan bahan
dekstrin 3% (Dibiyantoro 1994): dekstrin adalah senyawa transisi dalam proses
perubahan sukrosa-dekstrosa. Dekstrin mampu untuk melapisi permukaan daun
hingga menjadi lapisan film, namun tetap transparan hingga tidak mengahalangi
terjadinya proses fotositesa dan metabolisme daun. Karena ada lapisan dekstrin,
maka thrips akan sukar mendekati dan hinggap pada daun sehubungan dengan sifat
tegangan permukaan daun. Demikian pula pada waktu ‘probing’ thrips akan sulit
mencari bagian daun yang akan dijadikan titik probing (Dibiyantoro 1994 dan
1997b). Dekstrin sangat kompatibel terhadap senyawa kimia apapun termasuk
insektisida dari semua jenis (Dibiyantoro 1997a). Jenis pengendalian fisik lain
berupa penggunaan mulsa plasik perak maupun plastik transparan biasa. Secara
prinsip, penggunaan mulsa ini, mampu untuk mengurangi tingkat serangan thrips;
hal ini disebabkan karena dua faktor berikut, yakni (Dibiyantoro 1994):
-Menghalangi preferensi
hinggap pada waktu terbang, karena adanya refleksi cahaya matahari yang
dipantulkan mulsa perak, maupun penutup plastik transparan biasa.
-Mengurangi persentase
pembentukan pupa dalam tanah. Namun perlu disimak bahwa tidak semua spesies
thrips melakukan proses pupasi di dalam tanah.
Refleksi cahaya ditentukan oleh tinggi
rendahnya refleksi sinar UV (ultra violet) yang dipantulkan oleh suatu media,
misalnya mulsa perak. Sebagai contoh pada refleksi UV sebesar 75% pada panjang
gelombang 365 nm (Lewis 1973); Thrips lebih banyak menghindar bilaman
dibandingkan dengan jenis media dengan kadar refleksi UV 14% dan panjang
gelombang 365 nm. Pengaruh yang serupa akan terjadi pada jenis warna perangkap
dan jenis bahan cat.
Cara pengendalian fisik yang lain dengan
menggunakan perangkap rekat, dengan kecenderungan warna putih hingga biru,
meskipun faktor warna ini juga seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kadar
refleksi dan panjang gelombang cahaya juga akan menentukan jumlah penangkapan,
thrips terhadap warna yang didasarkan pada alat colorimeter jenis d25m-9
Hunterlab. Kesimpulannya adalah jenis cat bahan pewarna dan kadar refleksi itu
sebenarnya yang lebih berperan. Setelah dilakukan uji korelasi antara warna dan
jumlah penangkapan maka yang paling tinggi adalah warna hijau jeruk (citrus
green-0.93), kemudian kuning, warna fresh parsley dan baru pada akhirnya warna
putih. Betapapun Vos (1994) telah melakukan suatu penelitian mengenai perangkap
jenis ini yakni hanya warna putih. Sedangkan Dibiyantoro (1997b) hanya
menggunakan perangkap sederhana biru muda pucat dengan bahan cata yang banyak
mengandung minyak dan alat perangkap ini digunakan untuk suatu patokan
indikator aplikasi insektisida. Jumlah populasi thrips pada perangkap juga
dapat dijadikan dasar nilai ambang untuk aplikasi insektisida, justru metode
ini yang paling mudah diterapkan karena dengan metoda penghitungan populasi
untuk nilai ambang kendali akan menambah biaya tenaga kerja.
·
Pengendalian Secara
Hayati
Pengendalian hayati merupakan goal yang
paling jitu dalam suatu strategi pengendalian hama terpadu, karena nilai
tambahnya paling berharga bagi kontribusi keberlanjutan. Secara hayati
informasi pengendalian thrips masih sangat kurang, karena sulitnya thrips
di’rearing’; hingga dalam strategi PHT hingga tahun 1995 yang ada pada BALITSA
baru merupakan pengendalian secara kimiawi. Namun sejak 1995/1996 telah dimulai
dengan beberapa teknik pemanfaatan predator (Dibiyantoro 1997b; Prabaningrum
dan Sastrosiswojo 1997) dan pestisida biorasional (Hadisoeganda 1997; unpub).
Seperti telah diketahui bahwa pengendalian thrips, yang antara lain terdiri
dari :
-Penggunaan mikroorganisme :
Mikroorganisme yang diketahui efektif baru berupa Beauveria bassianadan
Verticillium lecani. Thrips tabacipada tanaman bawang merah mampu ditekan
hingga 27-36%, bilamana dibandingkan dengan penggunaan insektisida kimia.
Meskipun dalam aplikasinya digunakan pula campuran dekstrin 3% (Dibiyantoro
1994).
-Penggunaan bahan alami pestisida
biorasional (Hadisoeganda, 1997): Campuran AGONAL 8:6:6 (bahan Azadirachta=nimba; Andropogon dan Alpinia
galanga=sereh wangi), diketahui merupakan ramuan yang kemangkusannya tinggi untuk
mengendalikan baik Thrips plami, Phthorimaea operculelladan penyakit
Phytophthora infestanspada tanaman kentang.
-Penggunaan predator Telah dilakukan
beberapa penelitian untuk memanfaatkan penggunaan predator baik yang bersifat
‘indigenously predators’ (lokal sejati) maupun ‘imported predators’.
Prabaningrum dan Sastrosiswojo (1997) telah berhasil menekan populasi
Thripsspp. Dengan menggunakan tungau predator dari negeri Belanda yakni
Amblyseius cucumeris. Keberhasilan ini sejalan dengan hasil panelitian Bakker
dan Sabelis (1989); Ramakers (1987 dan 1990) di negeri Belenda, tetapi mereka
menggunakan Oriusspp. Pada tanaman paprika di rumah kaca dalam skala komersial.
·
Pengendalian Secara
terpadu
Dalam kaitannya dengan teknik
pengendalian thrips yang sudah diteliti, perlu dilakukan tindakan Pengendalian
Terpadu yang kompatibel dan dinilai cukup ekonomis dan secara ekologis akan
tetap berlandaskan pada keberlanjutan.
Beberapa strategi PHT thrips yang dapat
dilakukan dengan persyaratan kondisi ekologisnya harus merupakan landasan utama
dalam mengambil tindakan. Hasil penelitian thrips pada tanaman cabai dan bawang
dapat digunakan sebagai percontohan bagi jenis tanaman sayuran lain yang juga
tidak luput dari pertimbangan keadaan agroekosistemnya sendiri.
Di daerah Klampok dan Keboledan, Kecamatan
Wanasari, Kabupaten Brebes, sebagian kecil petani telah dengan sadar
menjalankan keinginan sendiri untuk tidak melakukan aplikasi insektisida pada
pertanaman cabai, selama pertanaman bulan Juni-September 1996 dan 1997.
Beberapa tindakan penting yang dilakukan petani sesuai dengan percontohan pada
penelitian pendukung PHT 1996/1997 adalah sebagai berikut:
-Pelaksanaan pengolahan tanah yang
mantap, pencangkulan dan pembersihan yang biasa diistilahkan dengan sanitasi
dilakukan dengan prima.
-Penggunaan pupuk berimbang sesuai
dengan anjuran hasil penelitian (Duriat et al. 1996).
-Tidak menggunakan insektisida sama
sekali sepanjang pertanaman, kecuali bilamana ada serangan ulat Spodoptera lituradan Helicoverpaspp., hingga
aplikasi insektisida secara total hanya sekitar lima kali sepanjang waktu
pertanaman. Petak penelitian pendukung PHT tahun 1996 di Klampok telah
membuktikan bahwa demikian banyak jenis predator thrips yang jelas berperan
memangsa langsung hama-hama thrips dan aphids yang dapat disaksikan sendiri
oleh petani. Dalam hal ini perlu dilakukan penelitian nilai berbeda lebih
lanjut, sebab menurut petani pertanaman 1996 tidak banyak berbeda hasil panen
yang diperoleh dibandingkan dengan hasil panen tahun-tahun sebelumnya (panen
berkurang 7%).
-Masih perlu adanya jenis mulsa perak
yang lebih murah untuk digunakan petani, pemasangan mulsa dikombinasikan dengan
pemasangan perangkap akan lebih meningkatkan effisiensi daya guna predator.
-Perlu diketahui kegunaan tanaman
barrier seperti jagung dll, untuk mengurangi serangan thrips.
-Perlu ditemukan jenis mikroorganisme
yang mudah diperbanyak sendiri oleh petani, sebab jenis Beauveriadan
Verticilliummemerlukan pekerjaan dan ketekunan pekerjaan di laboratorium
yang tinggi.
-Adanya potensi predator atau musuh
alami yang sudah ada pada ekosistem itu sendiri sudah saatnya untuk lebih
dieksploitasi, mengingat peran bioregulator ini akan sangat berharga dalam
kondisi alam sebenarnya dengan persyaratan pada kondisi ekosistem yang belum
jenuh akan pestisida. Karena itu perlu digali lebihlanjut teknologi yang dapat
diterapkan untuk aplikasi pendayagunaan predator/musuh alami tersebut.
2.2.3 Ulat Tanah
(Agrotis ipsilon Hufn.)
A. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Genus : Agrotis
Spesies : Agrotis ipsilon
B. Bioekologi
Telur
diletakkan satu-satu atau dalam kelompok. Bentuk telur seperti kerucut
terpancung dengan garis tengah pada bagian dasarnya 0,5 mm. Seekor betina dapat
meletakkan 1.430 - 2.775 butir telur. Warna telur mula-mula putih lalu berubah
menjadi kuning, kemudian merah disertai titik coklat kehitam-hitaman pada
puncaknya. Titik hitam tersebut adalah kepala larva yang sedang berkembang di
dalam telur. Menjelang menetas, warna telur berubah menjadi gelap agak
kebiru-biruan. Stadium telur berlangsung 4 hari.
Larva
menghindari cahaya matahari dan bersembunyi di permukaan tanah kira-kira
sedalam 5 - 10 cm atau dalam gumpalan tanah. Larva aktif pada malam hari untuk
menggigit pangkal batang. Larva yang baru keluar dari telur berwarna
kuning kecoklat-coklatan dengan ukuran panjang berkisar antara 1 - 2 mm.
Sehari kemudian larva mulai makan dengan menggigit permukaan daun. Larva
mengalami 5 kali ganti kulit. Larva instar terakhir berwarna coklat
kehitam-hitaman. Panjang larva instar terakhir berkisar antara 25 - 50
mm. Bila larva diganggu akan melingkarkan tubuhnya dan tidak bergerak
seolah-olah mati. Stadium larva berlangsung sekitar 36 hari.
Pembentukan
pupa terjadi di permukaan tanah. Pupa berwarna cokelat terang atau cokelat
gelap. Lama stadia pupa 5 – 6 hari.
Imago.
Umumnya ngengat Famili Noctuidae menghindari cahaya matahari dan bersembunyi
pada permukaan bawah daun. Sayap depan berwarna dasar coklat keabu-abuan
dengan bercak-bercak hitam. Pinggiran sayap depan berwarna putih.
Warna dasar sayap belakang putih keemasan dengan pinggiran berenda putih.
Panjang sayap depan berkisar 16 -19 mm dan lebar 6 - 8 mm. Ngengat dapat hidup
paling lama 20 hari. Apabila diganggu atau disentuh, ngengat menjatuhkan diri
pura-pura mati. Perkembangan dari telur hingga serangga dewasa rata-rata
berlangsung 51 hari.
C. Gejala Serangan
Larva merupakan stadia perusak yang
aktif pada malam hari untuk mencari makan dengan menggigit pangkal batang.
Tanaman yang terserang adalah tanaman-tanaman muda. Pangkal batang yang digigit
akan mudah patah dan mati. Di samping menggigit pangkal batang, larva yang baru
menetas, sehari kemudian juga menggigit permukaan daun. Ulat tanah sangat cepat
pergerakannya dan dapat menempuh jarak puluhan meter. Seekor larva dapat
merusak ratusan tanaman muda
D. Pengendalian Ulat
Tanah
a). Kultur teknis
Pengolahan
tanah yang baik untuk membunuh pupa yang ada di dalam tanah. Sanitasi dengan
membersihkan lahan dari gulma yang juga merupakan tempat ngengat A. ipsilon
meletakkan telurnya.
b). Pengendalian fisik / mekanis
Pengendalian
secara fisik dengan mengumpulkan larva dan selanjutnya dimusnahkan. Sebaiknya
dilakukan pada senja – malam hari, dan larva biasanya dijumpai di permukaan tanah
sekitar tanaman yang terserang.
c). Pengendalian hayati
Pemanfaatan musuh alami : parasitoid larva A. ipsilon yaitu Goniophana heterocera, Apanteles (=
Cotesia) ruficrus, Cuphocera varia
dan Tritaxys braueri. Predator
penting adalah Carabidae. Patogen penyakit yang sering menyerang A.
ipsilon adalah jamur Metharrizium
spp. dan Botrytis sp. serta nematoda Steinernema sp.
d). Pengendalian kimiawi
Apabila
serangan ulat tanah tinggi, dapat dilakukan penyemprotan dengan insektisida yang
efektif, Pestisida yang digunakan adalah
pestisida dengan bahan aktif kuinalfos.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Tempat dan
Waktu Pengamatran
Tempat
:
Kecamatan Bumiaji Kota Batu
Waktu :
13.00 – 14.00 WIB
Hari
/ Tanggal :
Sabtu, 28 September 2013
3.1 Hasil
Pengamatan
Berdasarkan
pengamatan di lahan Bawang Merah yang ada di Kecamatan Bumiaji Kota Batu,
ditemukan beberapa hama areal pertanaman bawang merah. Beberapa hama yang
ditemukan merupakan hama penting tanaman bawang merah, contoh Ulat Bawang (Spodoptera
litura) dan Ulat Tanah (Agrotis
ipsilon Hufn.)
No
|
Hama
|
Gejala serangan
|
Cara pengendalian
|
1
|
Ulat Bawang
(Spodoptera
litura)
|
·
Terdapat bercak-bercak putih transparan pada daun
·
Daun terlukai dan
kering
|
·
Secara biologi yaitu
dengan memanfaatkan musuh alami seperti beberapa spesies predator dari S.
litura adalah Solenopsis sp, Paedorus sp, Euberellia sp, Lycosa sp, dan
laba-laba.
·
Secara kultur teknis
dengan sanitasi, pengolahan tanah, pemupukan berimbang, penggunaan milsa,
penggunaan tanaman perangkap.
·
Secara kimiawi dengan
menggunakan insektisida dengan bahan aktif deltametrin
|
2
|
Hama Thrips tabaci
|
· Terdapat
bercak-bercak yang berwarna putih seperti perak
· Ujung daun kering, kemudian daunnya mengering semua
|
· Secara
Kimia dengan bahan agrokimia sintetik seperti insektisida IGR (insect growth regulator)
· Secara
Fisik dengan menghalangi atau menghalau thrips hingga tidak banyak
berhubungan baik dengan tanaman inang dan medium tumbuh tanaman, seperti
Penggunaan bahan dekstrin 3%.
· Secara
hayati dengan menggunakan presator, mikroorganisme, dan pestisida biorasional.
· Pengendalian
secara terpadu.
|
3
|
Ulat Tanah
(Agrotis ipsilon Hufn.)
|
· Pangkal
batang yang digigit akan mudah patah dan mati.
· merusak
ratusan tanaman muda.
|
· Kultur teknis dengan
Pengolahan tanah yang baik untuk membunuh pupa yang ada di dalam tanah.
· secara fisik dengan mengumpulkan
larva dan selanjutnya dimusnahkan.
· Secara
hayati dengan musuh alami seperti Goniophana
heterocera, ruficrus, Cuphocera varia dan Tritaxys braueri. Predator penting seperti
Carabidae. Dan dengan Patogen penyakit seperti jamur Metharrizium spp.
dan Botrytis sp. serta nematoda Steinernema sp.
· Secara
kimia dengan menggunakan pestisida
dengan bahan aktif kuinalfos.
|
KESIMPULAN
Pada survey yang
kami lakukan di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, ditemukan beberapa organisme yang
termasuk kedalam OPT tanaman Bawang Merah. Diantaranya adalah Ulat Bawang (Spodoptera litura) dan Ulat Tanah (Agrotis ipsilon Hufn.).
Dengan semakin
banyaknya OPT tersebut, maka diperlukan beberapa cara pengendalian hama tanaman
bawang merah. Diantaranya Secara kultur teknis, yaitu mengolah tanah untuk
membunuh pupa yang ada di dalam tanah. Secara hayati, yaitu dengan musuh alami.
Secara mekanis, yaitu seperti mengumpulkan hama dan memusnahkannya. Secara
kimiawi, yaitu menggunakan obat-obatan atau pestisida dan dengan cara penerapan
pengendalian hama terpadu.
DAFATAR
PUSTAKA
Anonymous
a. 2013. Gambar Bawang Merah. (online) (http://id.wikipedia.org/wiki/Bawang_ merah). Diakses
03 Oktober 2013
Anonymous b. 2013. Gambar Ular Grayak. (online) (http://genomebiology.com
/2003/4/7/221/figure/F1) Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous
c. 2013. Gambar Thrips tabaci. (online) (http://web.entomology.cornell.edu
/shelton/veg-insects-global/graphics/thrips/thrips2gif.html). Diakses 03
Oktober 2013
Anonymous
d. 2013. Gambar Telur & Nimfa Thrips. (online) (www.uidaho.edu/so-id/entomology/thrips.jpg). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous
e. 2013. Gambar Telur & Instar Thrips. (online) (http://buletinagraris.blogspot .com/2007/12/thrips-parvisipinus-hrips-parvisipinus.html). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous
f. 2013. Gambar Siklus Hama Thrips. (online) (http://edis.ifas.ufl.edu/ LyraEDISServlet?command=getImageDetail&image_soid=FIGURE%201&document_ soid=IN292&document_version=46095) Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous
g. 2013. Gambar Ulat Tanah. (online) (http://entnemdept.ufl.edu
/creatures/veg/blackcutworm.html). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous h. 2013. Gambar Telur Ulat
Tanah. (online) (http://infohamapenyakittumbuhan
.blogspot.com/2012/ 04/agrotis-ipsilon-ulat-tanah.html). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous i. 2013a. Gambar Pupa Ulat
Tanah. (online) (http://infohamapenyakittumbuhan
.blogspot.com/2012/04/agrotis-ipsilon-ulat-tanah.html). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous j. 2013b. Gambar Pupa Ulat
Tanah. (online) (http://infohamapenyakittumbuhan
.blogspot.com/2012/04/agrotis-ipsilon-ulat-tanah.html). Diakses 03 Oktober 2013
Anonymous k. 2013. Gambar Ngengat.
(online) (http://infohamapenyakittumbuhan
.blogspot.com/2012/04/agrotis-ipsilon-ulat-tanah.html). Diakses 03 Oktober
2013
Dibiyantoro, A.L.H.
1994. Management Of Thrips tabaci Lind. With Special Reference On Garlic (A.
Sativum L). PhD. 3 rd-Year
Report. 1994. Univ. Newcastle. UK. P: 23-25
Direktorat
Perlindungan Hortikultura Kementrian Pertanian. 2013. (http://ditlin.hortikultura.
deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=73&Itemid=195).
Diakses 08 oktober 2013
Habibi, Yahya. 2012. Info Hama Dan Penyakit Tumbuhan. (online)
(http://infohama
penyakittumbuhan.blogspot.com/2012/04/agrotis-ipsilon-ulat-tanah.html). Diakses
08 Oktober 2013.
Hadisoeganda W.W. 1997.
Peranan Pestisida Biorasional Dalam
Sistem Pertanian Berkelanjutan. Seminar ‘Sumbang Pikir para Ahli Peneliti
Hortikultura’ di BALITSA. Lembang, 4-6 Oktober 1997.
Hanifah
N. 2011. Analisis Hama Ulat Bawang (Spodoptera
Exigua) Pada Tanaman Bawang Merah (Allium
cepa). (online) (http://s3.amazonaws.com/ppt-download/opt-120801114414-phpapp01.doc?response-contentdisposition=attachment&Signature=eipf
RYAbNnRW4uXPM7HYyDmbWrc%3D&Expires=1381243502&AWSAccessKeyId=AKIAIW74DRRRQSO4NIKA)
Diakses 08 oktober 2013
Ilhamdani. 2012. Bioekologi Ulat Tanah (Agrotis ipsilon). (online) (http://ruangpertaniandanpuisi-puisi.blogspot.com/2012/12/bioekologi-ulat-tanah-agrotis-ipsilon.html).
Diakses 08 oktober 2013
Jaelani. 2007. Khasiat Bawang Merah. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Laksanawati,
Anna. 1998. Thrips Pada Tanaman Sayuran.
(online) (http://balitsa.litbang.deptan.go.id/ind/images/isi_monografi/M-11.pdf).
Diakses 08 oktober 2013
Lewis,
T. 1973. Thrips, their biology, ecology and economic impotance. Academic Press.
London and New York. 344 pp.
Mound, L.A; G.D.
Morison; B.R. Pitkin and J.M. Palmer. 1976. Thysanoptera.
In: Handbooks For The Identification Of British Insects. (A. Watson:eds).
1(11):79 p.
Nurhayati, Hanifah.
2011. Analisis Hama Ulat Bawang pada
Tanaman Bawang Merah.
Prabaningrum L. dan S.
Sastrosiswojo. 1997. Kemampuan Pemangsaan
Predator Amblyseius Cucumeristerhadap Thrips Parvispinus dan Polyphagotarsonemus
Latuspada Tanaman Cabai Di Laboratorium. Jurn.Hort.7(2):678-684.
Rahayu, Estu. 2008. Bawang Merah. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rukmana, Rahmat. 1994. Bawang Merah, Budidaya dan Pengolahan Pasca
Panen. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Saung.
2011. Biologi dan Siklus Hidup Hama
Thrips. (online) (http://saungsumberjambe
.blogspot.com/2011/08/thrips-thrips-sp.html). Diakses 08 Oktober 2013.
Wibowo,
Singgih. 2006. Budi Daya Bawang Putih,
Merah, dan Bombay. Jakarta: Penebar Swadaya.
Zuraya,
Nidia. 2013. Produksi Bawang Merah di
Cirebon Menurun. Republika Online, Senin, 8 Juli 2013. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/
13/07/08/ mpli5q-produksi-bawang-merah-di-cirebon-turun). Diakses 3 Oktober
2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar