Jumat, 22 November 2013

Pengaruh Irigasi Terhadap Produksi Tanaman Jagung

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Salah satu upaya peningkatan produktivitas guna mendukung program pengembangan agribisnis jagung adalah penyediaan air yang cukup untuk pertumbuhan tanaman (Ditjen  Tanaman Pangan 2005). Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa hampir 79% areal pertanaman jagung di Indonesia terdapat di lahan kering, dan sisanya 11% dan 10% masing-masing pada lahan sawah beririgasi dan lahan sawah tadah hujan (Mink  et al . 1987). Kegiatan budidaya jagung di Indonesia hingga saat ini masih bergantung pada air hujan. Menyiasati hal tersebut, pengelolaan air harus diusahakan secara optimal, yaitu tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat sasaran, sehingga efisien dalam upaya peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam dan peningkatan intensitas pertanaman.
            Selain itu, antisipasi kekeringan tanaman akibat ketidakcukupan pasokan air hujan perlu disiasati dengan berbagai upaya, antara lain pompanisasi. Jagung merupakan tanaman dengan tingkat penggunaan air sedang, berkisar antara 400-500 mm (FAO 2001). Namun demikian, budi daya jagung terkendala oleh tidak tersedianya air dalam jumlah dan waktu yang tepat. Khusus pada lahan sawah tadah hujan dataran rendah, masih tersisanya lengas tanah dalam jumlah yang berlebihan akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Sementara itu, penundaaan waktu tanam akan menyebabkan terjadinya cekaman kekurangan air pada fase pertumbuhan sampai pembentukan biji. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi pengelolaan air bagi tanaman jagung. Pengelolaan air perlu disesuaikan dengan sumber daya fisik alam (tanah, iklim, sumber air) dan biologi dengan memanfaatkan berbagai disiplin ilmu untuk membawa air ke perakaran tanaman sehingga mampu meningkatkan produksi (Nobe and Sampath 1986). Efisiensi   penggunaan air dapat dilakukan dengan sistem pemberian air irigasi yang   efisien   dan efektif. Salah satunya adalah irigasi defisit.


1.2  Tujuan
            Mengetahui kebutuhan air yang baik untuk tanaman jagung dan pengaruh pemberian irigasi terhadap produksi tanaman.

1.3  Manfaat
Dapat mengaplikasikan dengan baik pemberian irigasi tanaman jagung yang efisien.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1              Air
2.1.1        Definisi Air
Menurut Schaums (2005), air merupakan pelarut universal yang melarutkan lebih banyak zat terlarut yang berbeda-beda dibandingkan cairan lain yang pernah diketahui, air merupakan medium ideal untuk menyokong kompleksitas itu. Air juga merupakan salah satu zat yang paling stabil dan karena itulah zat-zat berbasis air dapat bertahan lama.
2.1.2        Fungsi Air bagi Tanaman
Pada pertumbuhan primer, media tumbuh tanah tidak mutlak yang terpenting adalah media tumbuh yang mudah menyerap air. Media tumbuh yang keras akan sulit menyerap air sehingga biji tidak dapat bertunas. Menurut Susilowarno (2007), fungsi air dalam tumbuhan adalah:
1.      menentukan laju fotosintesis,
2.      sebagai pelarut universal dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan,
3.      menentukan proses transportasi unsur hara yang ada di dalam tanah, dan
4.      mengedarkan hasil-hasil fotosintesia ke seluruh bagian tumbuhan.
2.2              Irigasi
2.2.1        Definisi Irigasi
Menurut Pahan (2006), irigasi merupakan suatu usaha untuk menambahkan air ke suatu wilayah. Menurut Rokhma dalam buku Menyelamatkan Pangan dengan Irigasi Hemat Air (2009), irigasi adalah jumlah air yang diaplikasikan ke dalam lahan (pertanian) untuk menunjang proses pertumbuhan tanaman.
2.2.2    Kriteria Irigasi yang Efisien
Irigasi harus bermanfaat untuk air itu sendiri maupun untuk objek yang diairi. Irigasi yang efisien harus didasari pada pola pemberian air hemat air.
1.        Irigasi Hemat Air
Pemberian air irigasi dikatakan hemat apabila antara pemberian air dengan kebutuhan air tanaman tidak terdapat pernedaan dalam jumlah yang besar. Sistem pengairan secara giliran dapat mengurangi rembesan dan evaporasi, keuntungan lainnya kondisi tersebut dapat memperbaiki sifat fisika kimia tanah.
2.        Irigasi Berkala
Irigasi berkala adalah cara pemberian air irigasi ke lahan tidak secara terus-menerus melainkan berselang-seling. Pemberian air secara berkala mengakibatkan tanah berfluktuasi dari kondisi jenuh lapangan sampai kondisi tergenang.











BAB III
PEMBAHASAN
            Nilai rata-rata tahunan satuan kebutuhan air (SKA) irigasi tanaman jagung (jenis tanaman palawija) sebesar 0.47 l/det/ha atau hampir 0.5 l/det/ha. Dimana SKA tanaman jagung terjadi pasa musim tanam bulan juli-september dengan nilai rata-rata SKA sebesar 0.72.
            Defisit air untuk tanaman dan water stress (cekaman air) yang diakibatkannya berpengaruh terhadap evapotranspirasi tanaman dan hasil. Setiap  jenis tanaman memiliki response yang berbeda-beda terhadap kekurangan air pada setiap fase pertumbuhannya, termasuk Jagung. Pemberian kedalaman air irigasi dan waktu pemberian sangat penting untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air dan memaksimalkan produksi. Tanaman jagung lebih toleran terhadap kekurangan air pada fase vegetatif dan fase pematangan/masak. Penurunan hasil terbesar terjadi apabila tanaman mengalami kekurangan air pada fase pembungaan, bunga jantan dan bunga betina muncul, dan pada saat terjadi proses penyerbukan. Penurunan hasil tersebut disebabkan oleh kekurangan air yang mengakibatkan terhambatnya proses pengisian biji karena bunga betina/tongkol mengering, sehingga jumlah biji dalam tongkol berkurang. Hal ini tidak terjadi apabila kekurangan air terjadi pada fase vegetatif. Kekurangan air pada fase pengisian/pembentukan biji juga dapat menurunkan hasil secara nyata akibat mengecilnya ukuran biji. Kekurangan ai  pada fase pemasakan/pematangan sangat kecil pengaruhnya terhadap hasil tanaman (FAO, 2001 dalam Aqil dkk, 2008).
            Menurut Danarti dan Najiyati (1999) suhu optimum untuk pertumbuhan terbaik tanaman jagung berkisar antara 27 – 32 °C. Suhu yang terlalu panas dan pemberian air yang kurang mengakibatkan tanaman jagung tidak tumbuh dengan optimal. Doorenboss dan Kasam (1979) menyatakan bahwa tanaman jagung masih dapat tumbuh pada suhu di bawah 45°C dengan persyaratan kebutuhan air tanaman terpenuhi. Kurang pemberian air  akan menyebabkan terjadinya cekaman, karena cekaman menghambat pembesaran sel sehingga daun, tinggi tanaman, dan indeks luas daun tanaman mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh normal (Islami dan Utomo, 1995). Tanaman jagung kurang efektif jika diberikan irigasi defisit.
            Sistem irigasi tetes dapat dikategorikan baik untuk diaplikasikan pada tanaman jagung. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat keseragaman jagung pada irigasi tetes antara lain : kondisi filter air, kondisi lubang emitter yang tersumbat oleh tanah, perubahan koefisien gesek pada pipa lateral karena tumbuhnya lumut dsb. Menurut Warrick (1983), tingkat keseragaman distribusi tetesan diklasifikasikan sebagai berikut : 90% sangat baik; 80-90% baik; 70-80% cukup dan <70% buruk. Hasil ubinan panen jagung untuk pemberian air dengan tetes mencapai 6,6 ton/ha.
            Pengembangan jagung lahan kering umumnya dilakukan pada musim hujan, sehingga produktivitas tidak seoptimal apabila dilakukan pada musim kemarau di lahan sawah tadah hujan. Penyebabnya adalah intensitas penyinaran matahari dan jumlah debit air pada setiap fase yang berbeda terhadap pertanaman jagung. Implementasi dan inovasi teknologi ini memberikan dampak pada peningkatan indeks pertanaman (IP) jagung. Pemanfaatan lahan sawah tadah hujan umumnya rata-rata hanya satu kali sampai dua kali (padi rendengan dan padi MKI), setelah itu lahan dibiarkan bero sehingga peluang keberhasilannya hanya dapat ditempuh melalui pertanaman jagung dengan sistem TOT pada lahan sawah tadah hujan.  Penerapan teknologi pertanaman jagung sistem TOT pada lahan sawah tadah hujan dapat meningkatkan indeks pertanaman dari (100 dan 200) menjadi (200 dan 300).
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan   
            Jagung kurang efektif jika dilakukan irigasi defisit karena air adalah kebutuhan yang sangat penting untuk tanaman. Air adalah salah satu bahan fotosintesis sehingga kekurangan air dapat memperlambat laju fotosintesis.
            Jagung pada lahan kering lebih efisien menggunakan irigasi tetes. Karena kebutuhan air pada jagung dapat terpenuhi secara maksimal.



DAFTAR PUSTAKA

 

Akil, M. (2011). Pengelolaan Air Tanaman Jagung. Maros: Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Arief, F. (2012). Teknologi Budidaya Jagung (Zea maize) Tanpa Olah Tanah (TOT) pada Lahan Sawah Tadah Hujan. Sulawesi Selatan: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
Kurnia, U. (2004). Prospek Pengairan Pertanian Semusim Lahan Kering. Balai Penelitian Tanah Bogor: Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004.
Prabowo, A. (2006). Pengelolaan Sistem Irigasi Mikro untuk Tanaman Hortikultura dan Palawija. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian: Vol. IV No. 2, Oktober 2006.
Tusi, A. (2009). APLIKASI IRIGASI DEFISIT PADA TANAMAN JAGUNG. Faculty of Agriculture University of Lampung: Jurnal Irigasi - Vol. 4, No 2, November 2009.
Schaums. 2005. Biologi Ed. 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. 
Susilowarno, Gunawan, dkk. 2007. Biologi: SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Grasindo.



Selasa, 12 November 2013

Persiapan Lahan dan Media Tanam Pada Tanaman Budidaya Jagung

I.PENDAHULUAN

1.1  Latar  Belakang
Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia ataupun hewan. Di Indonesia, jagung merupakan makanan pokok kedua setelah padi. Sedangakan urutan bahan makanan  pokok di dunia, jagung menduduki urutan ketiga setelah gandum dan padi. Pertumbuhan dan perkembangan dalam budidaya tanaman jagung sangat penting dalam perhatiannya. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung. Terutama adalah faktor media tanam.
 Media tanam merupakan media/tempat dimana tanaman/biji dapat tumbuh dan berkembang didalamnya. Contohnya seperti tanah jenis latosol, andosol, grumosol,eltisol, pupuk kandang, air, kapas, kompos, dan sejenis lainnya. Saat ini, di kehidupan sehari-hari atau dalam perkebunan, tanah selalu menjadi media tanam bagi benih yang akan ditanam. Pada tanah-tanah dengan tekstur berat (grumosol) masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik dengan pengolahan tanah secara baik. Sedangkan untuk tanah dengan tekstur lempung/liat (latosol) berdebu adalah jenis tanah yang terbaik untuk pertumbuhan jagung. Sedangkan, media tanam yang menggunakan air biasanya dikhususkan untuk tumbuhan hidroponik.
Dalam hal ini, dapat terlihat bahwa kegunaan antara berbagai media tanam itu berbeda-beda. Tidak hanya kegunaannya saja tapi pengaruhnya terhadap perkecambahan suatu biji. Pengaruh tersebut dapat disebabkan karena setiap media tanam mengandung unsur-unsur dan struktur yang berbeda-beda.

1.2  Tujuan
1.2.1        Mengetahui teknologi produksi tanaman jagung dari segi budidaya pertanian
1.2.2        Mengetahui persiapan lahan dalam budidaya tanaman jagung
1.2.3        Mengetahui dan mengaplikasikan pengolahan tanah untuk komoditas jagung









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Klasifikasi Tanaman Jagung
Kingdom               : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio                 
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisio           : Angiospermae (berbiji tertutup)
Classis                  : Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo                     : Graminae (rumput-rumputan)
Familia                  : Graminaceae
Genus                   : Zea
Species                 : Zea mays L.
2.2  Asal – usul Tanaman Jagung
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagaipakan ternak (hijauan maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari bulir), dibuat tepung(dari bulir, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung bulir dan tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetika juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi.
Berdasarkan temuan-temuan genetik, antropologi, dan arkeologi diketahui bahwa daerah asal jagung adalah Amerika Tengah (Meksiko bagian selatan). Budidaya jagung telah dilakukan di daerah ini 10.000 tahun yang lalu, lalu teknologi ini dibawa ke Amerika Selatan(Ekuador) sekitar 7000 tahun yang lalu, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Perupada 4.000 tahun yang lalu.Kajian filogenetik menunjukkan bahwa jagung budidaya (Zea mays ssp. mays) merupakan keturunan langsung dari teosinte (Zea mays ssp. parviglumis). Dalam proses domestikasinya, yang berlangsung paling tidak 7.000 tahun oleh penduduk asli setempat, masuk gen-gen dari subspesies lain, terutama Zea mays ssp. mexicana. Istilah teosinte sebenarnya digunakan untuk menggambarkan semua spesies dalam genusZea, kecuali Zea mays ssp. mays. Proses domestikasi menjadikan jagung merupakan satu-satunya spesies tumbuhan yang tidak dapat hidup secara liar di alam. Hingga kini dikenal 50.000 kultivar jagung, baik yang terbentuk secara alami maupun dirakit melalui pemuliaan.



2.3  Deskripsi Tanaman Jagung
Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian antara 1m sampai 3m, ada varietas yang dapat mencapai tinggi 6m. Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum bunga jantan. Meskipun beberapa varietas dapat menghasilkan anakan (seperti padi), pada umumnya jagung tidak memiliki kemampuan ini. Bunga betina jagung berupa "tongkol" yang terbungkus oleh semacam pelepah dengan "rambut". Rambut jagung sebenarnya adalah tangkai putik. Akar jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 m. Pada tanaman yang sudah cukup dewasa muncul akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu menyangga tegaknya tanaman. Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Terdapat mutan yang batangnya tidak tumbuh pesat sehingga tanaman berbentuk roset. Batang beruas-ruas. Ruas terbungkus pelepah daun yang muncul dari buku. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin. Daun jagung adalah daun sempurna. Bentuknya memanjang. Antara pelepah dan helai daun terdapat ligula. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stoma pada daun jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki familia Poaceae. Setiap stoma dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun. Jagung memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah (diklin) dalam satu tanaman (monoecious). Tiap kuntum bunga memiliki struktur khas bunga dari suku Poaceae, yang disebut floret. Pada jagung, dua floret dibatasi oleh sepasang glumae (tunggal: gluma). Bunga jantan tumbuh di bagian puncak tanaman, berupa karangan bunga (inflorescence). Serbuk sari berwarna kuning dan beraroma khas. Bunga betina tersusun dalam tongkol. Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang dan pelepah daun. Pada umumnya, satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu tongkol produktif meskipun memiliki sejumlah bunga betina. Beberapa varietas unggul dapat menghasilkan lebih dari satu tongkol produktif, dan disebut sebagai varietas prolifik. Bunga jantan jagung cenderung siap untuk penyerbukan 2-5 hari lebih dini daripada bunga betinanya (protandri).






2.4  Syarat Tumbuh Tanaman Jagung
Tanaman jagung berasal dari daerah tropis yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar daerah tersebut. Jagung tidak menuntut persyaratan lingkungan yang terlalu ketat, dapat tumbuh pada berbagai macam tanah bahkan pada kondisi tanah yang agak kering. Tetapi untuk pertumbuhan optimalnya, jagung menghendaki beberapa persyaratan.
Iklim
a.    Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerahdaerah beriklim sedang hingga daerah beriklim sub-tropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 0-50 derajat LU hingga 0-40 derajat LS.
b.    Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya jagung ditanam diawal musim hujan, dan menjelang musim kemarau.
c.    Pertumbuhan tanaman jagung sangat membutuhkan sinar matahari. Tanaman jagung yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat/ merana, dan memberikan hasil biji yang kurang baik bahkan tidak dapat membentuk buah.
d.    Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara 21-34 derajat C, akan tetapi bagi pertumbuhan tanaman yang ideal memerlukan suhu optimum antara 23-27 derajat C. Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar 30 derajat C.
e.    Saat panen jagung yang jatuh pada musim kemarau akan lebih baik daripada musim hujan, karena berpengaruh terhadap waktu pemasakan biji dan pengeringan hasil.
Media Tanam
a.    Jagung tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus. Agar supaya dapat tumbuh optimal tanah harus gembur, subur dan kaya humus.
b.    Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain: andosol (berasal dari gunung berapi), latosol, grumosol, tanah berpasir. Pada tanah-tanah dengan tekstur berat (grumosol) masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik dengan pengolahan tanah secara baik. Sedangkan untuk tanah dengan tekstur lempung/liat (latosol) berdebu adalah yang terbaik untuk pertumbuhannya.
c.    Keasaman tanah erat hubungannya dengan ketersediaan unsur-unsur hara tanaman. Keasaman tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung adalah pH antara 5,6 - 7,5.
d.    Tanaman jagung membutuhkan tanah dengan aerasi dan ketersediaan air dalam kondisi baik.
e.    Tanah dengan kemiringan kurang dari 8 % dapat ditanami jagung, karena disana kemungkinan terjadinya erosi tanah sangat kecil. Sedangkan daerah dengan tingkat kemiringan lebih dari 8 %, sebaiknya dilakukan pembentukan teras dahulu.
Ketinggian Tempat
Jagung dapat ditanam di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara 1000-1800 m dpl. Daerah dengan ketinggian optimum antara 0-600 m dpl merupakan ketinggian yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung.




BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sistem Olah Tanah
Sistem olah tanah yang dapat dimanfaatkan untuk menanam tanaman jagung terdiri atas 3 metode atau cara, yaitu sistem olah tanah konvensional (guludan atau bedengan), sistem olah tanah minimum (pada tanah yang subur atau gembur) dan sistem tanpa olah tanah.
a.      Sistem Olah Tanah Konvensional (Guludan atau Bedengan)
Prinsip dari sistem olah tanah konvensional (guludan atau bedengan) adalah mengolah tanah secara keseluruhan, yaitu dengan cara manual dan menggunakan cangkul atau linggis kemudian membongkar dan membalik tanah lalu diratakan. Tanah yang akan ditanami tanaman harus dibersihkan dari tanaman pengganggu seperti gulma. Tanah yang telah bersih kemudian dibentuk guludan atau semacam bedengan dengan saluran drainasenya agar dapat membuang kelebihan air pada musim-musim hujan. Guludan adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong lereng. Tinggi tumpukan tanah sekitar 25–30 cm dengan lebar dasar sekitar 30–40 cm. Jarak antara guludan tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah, dan erosivitas hujan. Guludan dapat diperkuat dengan menanam rumput atau tanaman perdu (Chairani, 2010).
Keuntungan dari olah tanah konvensional adalah pertumbuhan tanaman akan subur sebab aliran aerase atau pertuara udara dalam tanah menjadi lancar, pori-pori tanah juga semakin banyak menyerap air dan unsur hara yang diperlukan tanaman. Namun, ada juga kerugian dari pengolahan tanah konvensional yaitu membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dan penggunaan waktu juga kurang efisien sebab selain membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak juga membutuhkan waktu yang agak lama dibandingkan dengan olah tanah yang lain sebab dalam olah tanah ini, semua permukaan tanah diolah tanpa terkecuali bahkan tanah yang tidak ditanami
(Chairani, 2010).
b.      Sistem Olah Tanah Minimum (Pada Tanah Subur atau Gembur)
Pengolahan tanah minimum hanya dapat dilakukan pada tanah yang gembur. Tanah gembur dapat terbentuk sebagai hasil dari penggunaan mulsa secara terus menerus dan atau pemberian pupuk (baik pupuk hijau, pupuk kandang, atau kompos) dari bahan organik yang lain secara terus menerus. Penerapan teknik pengolahan tanah minimum perlu disertai dengan pemberian mulsa. Keuntungan olah tanah minimum adalah menghindari kerusakan struktur tanah, mengurangi aliran permukaan dan erosi, memperlambat proses mineralisasi, mengefisienkan tenaga kerja daripada pengelolaan penuh, dan dapat diterapkan pada lahan-lahan marginal yang jika tidak dengan cara ini mungkin tidak dapat diolah. Kerugian dari olah tanah minimum adalah persiapan bedengan yang kurang memadai dapat menyebabkan pertumbuhan yang kurang baik dan produksi yang rendah, lebih cocok untuk tanah yang gembur, pemberian mulsa perlu dilakukan secara terus menerus, herbisida diperlukan apabila pengendalian tanaman pengganggu tidak dilakukan secara manual atau dilakukan secara mekanis
(Chairani,2010).
c.       Sistem Tanpa Olah Tanah
Untuk sistem tanpa olah tanah, juga bisa diterapkan pada tanah-tanah yang subur atau gembur. Sistem tanpa olah tanah merupakan bagian dari konsep olah tanah konservasi yang mengacu kepada suatu sistem olah tanah yang melibatkan pengolahan mulsa tanaman ataupun gulma (tanaman pengganggu). Budidaya pertanian tanpa olah tanah sebetulnya berangkat dari corak pertanian tradisional yang dimodifikasikan, dengan memasukkan unsur kimiawi untuk mengendalikan gulma, dalam hal ini herbisida. Persiapan lahan cukup dilakukan dengan penyemprotan, gulma mulai mati dan mengering, lalu direbahkan selanjutnya dibenamkan dalam lumpur (Nursyamsi, 2004).
Persiapan lahan pada sistem TOT (tanpa olah tanah) dapat dilakukan dengan menggunakan herbisida. Glyfosat merupakan salah satu herbisida yang banyak digunakan untuk mempersiapkan lahan TOT. Aplikasi herbisida pada lahan TOT seringkali menimbulkan adanya pergeseran gulma yang tumbuh berikutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi  gulma yang tumbuh pada saat persiapan lahan serta untuk membandingkan pengaruh saat aplikasi dan dosis herbisida glyfosat terhadap pergeseran gulma. (Nurjanah, 2011).
3.2 Media Tanam / Pengolahan Tanah
            Jagung dapat tumbuh pada media tanam di lahan kering, sawah, pasang surut asalkan syarat tumbuh diperlukan terpenuhi. Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain Andosol, Latosol, Entisol dan Grumosol. Tanah bertekstur lempung atau liat berdebu (Latosol) merupakan jenis tanah yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman jagung. Tanaman jagung menghendaki tanah yang gembur (lembab), permeabilitas sedang, drainase agak cepat, tingkat kesuburan sedang, kandungan humus sedang. Reaksi tanah (pH) berkisar antara 5,2 - 8,5 yang optimal antara 5,8– 7,8. Pada pH netral, unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman jagung banyak tersedia di dalamnya. pH lebih dari 7,0 unsur P terikat oleh CO sehingga tidak terlarut dalam air. Hal ini mengakibatkan unsur hara sulit diserap oleh akar tanaman. Jadi, pH tanah dan unsur-unsur hara yang ada (tersedia) bagi tanaman saling berkaitan.
      Pengolahan tanah bekas pertanaman padi (lahan sawah) dilaksanakan setelah membabat jerami. Jerami dapat digunakan sebagai mulsa/penutup tanah setelah jagung ditanam. Kegunaan mulsa yaitu mengurangi penguapan tanah, menghambat pertumbuhan gulma, menahan pukulan air hujan dan lama kelamaan mulsa menjadi pupuk hijau. Untuk pengolahan tanahnya dapat menggunakan bajak/traktor, garu, cangkul, dll. Pengolahan tanah pada lahan sawah kering cukup sampai dengan kedalaman 10 cm dan semua limbah digunakan sebagai mulsa. Pada saat pengolahan tanah lahan kering setiap 3 m perlu disiapkan saluran air sedalam 20 cm dan lebar 30 cm yang berfungsi untuk memasukkan air pada saat kekurangan air dan pembuangan air pada saat air berlebih. Pada lahan sawah tadah hujan, terlebih dahulu dibuat saluran irigasi keliling lahan dan saluran memotong lahan setiap jarak 2m dengan menggunakan hand traktor. Saluran tersebut berfungsi untuk mengairi tanaman bila kekurangan air.
Tanah dengan pH kurang dari 5,0, harus dikapur 1 bulan sebelum tanam. Jumlah kapur yang diberikan 1-3 ton/ha untuk 2-3 tahun disebar merata atau pada barisan tanaman, Dapat pula digunakan dosis 300 kg/ha per musim tanam dengan cara disebar pada barisan tanaman atau menggunakan mineral zeolit dengan dosis.
1). Minimum Tillage
Pada lahan-lahan yang peka terhadap erosi, budidaya jagung perlu diikuti dengan usaha-usaha konservasi seperti penggunaan mulsa dan sedikit mungkin pengolahan tanah. Bila waktu tanam mendesak, pengolahan tanah dapat dilakukan hanya pada barisan tanaman saja, selebar 60 cm dengan kedalaman 15 – 20 cm
2). Zero Tillage (tanpa pengolahan tanah)
Pemberantasan gulma menggunakan herbisida 2-3 lt/ha. Tanah dicangkul hanya untuk lubang tanaman.

           


















BAB IV
 PENUTUP

4.1 Kesimpulan
   Budidaya tanaman jagung dalam teknik pengolahannya dapat menggunakan 2 cara yaitu, pengolahan tanah sistem olah tanah minimum dan sistem tanpa olah tanam. Tidak di pungkiri dapat juga menggunakan sistem olah tanah konvensional. Tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik pada tanah jenis latosol, tumbuh baik pada pH 5,8 – 7,8. Pengolahan tanahnya dapat menggunakan bajak/traktor, garu, cangkul, dll. Pada lahan sawah kering maupun sawah tadah hujan perlu adanya pengolahan tanah untuk pembuatan saluran irigasi yang berguna saat kekurangan air atau kelebihan air.























DAFTAR PUSTAKA
Akil, M., E.O. Momuat, A.F. Fadhly, dan Subandi. 2002. Status kesuburan tanah dan pemupukan pada budi daya jagung. Balai Penelitian TanamanJagung dan Serealia Lain. Maros.

Akil, M., E.O, Hadijah A.Dahlan. 2005. Budidaya Jagung dan Diseminasi Teknologi. Balai PenelitianTanamanJagung dan Serealia Lain Maros.

Bakhri, Syamsul. 2002. Budidaya Jagung dengan Konsep Pengelolaan Tanaman Terpadu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Sulawesi Tengah


Ichwan S.Madauna. 2009. Kajian Pupuk Organik Cair Lengkap Dosis Rendah Pada Sistem Budidaya Tanpa Olah Tanah Terhadap Pertumbuhan Gulma Dan Hasil Jagung. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.  Sulawesi Tengah

Murni, A.M, Arief, Ratna.W.2008. Teknologi Budidaya Jagung   Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Lampung