BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Cabai ‘Capsicum
sp’ merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dibudidayakan di
Indonesia. Hasil dari tanaman ini banyak diminati oleh masyarakat sebagai
campuran bahan makanan atau sebagai bumbu dapur. Kandungan minyak atsiri pada
cabai yang menyebabkan terasa pedas saat dikonsumsi. Dahulu cabai dibudidayakan
sebagai rempah-rempah penghangat badan, tapi sekarang tidak sebatas itu saja
karena cabai sudah menjadi komoditas yang bernilai ekonomis tinggi
Cabai yang
dibudidayakan secara luas di Indonesia juga termasuk kedua spesies ini. Cabai
besar dan cabai keriting, misalnya, termasuk spesies C. annuum sedangkan cabai
rawit termasuk C. frutescens.
Tanaman
cabai memiliki risiko gagal panen yang tinggi. Terutama tanaman ini sangat
rentan terserang hama dan penyakit. Hal ini dapat merugikan petani secara
ekonomi. Oleh karena itu upaya pengendalian hama ini sebagai hama utama tanaman
cabai perlu dilakukan untuk mencegah dan menekan kerugian secara ekonomi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa
tanaman cabai itu?
1.2.2 Apa
saja hama yang menyerang tanaman cabai?
1.2.3
Bagaimana cara mengendalikan hama tanaman cabai?
1.3 Tujuan
1.3.1
Mengetahui hama yang menyerang tanaman cabai
1.3.2
Mengetahui gejala serangan hama pada tanaman cabai
1.3.2
Mengetahui cara pengendalian hama pada tanaman cabai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Cabai
2.1.1
Sejarah
Tanaman Cabai
Cabai merupakan tanaman perdu dari famili
terong-terongan yang memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabe berasal dari benua
Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa
dan Asia termasuk Negara Indonesia. Tanaman cabe banyak ragam tipe pertumbuhan dan bentuk buahnya. Diperkirakan
terdapat 20 spesies yang sebagian besar hidup di Negara asalnya. Masyarakat
pada umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja, yakni Cabe besar, cabe
keriting, cabe rawit dan paprika. Secara umum cabe memiliki banyak kandungan
gizi dan vitamin. Diantaranya Kalori, Protein, Lemak, Kabohidarat, Kalsium,
Vitamin A, B1 dan Vitamin C. Klasifikasi tanaman cabai :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae (suku terung-terungan)
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum annum L.
Tanaman
cabai temyata masih saw famili (solanaceae) dengan tanaman kentang, tomat,
terung, ranti, dan tekokak, sehingga kemungkinan adanya kesamaan dalam serangan
hama dan penyakit. Namun tanaman cabai tidak berkerabat dekat dengan tanaman
cabai Jawa (Piper retrofractrum), meskipun sama-sama memiliki nama cabai.
Penamaan cabai Jawa memang salah kaprah, karena hanya didasarkan dengan bentuk
buah tanaman ini yang menyerupai cabe.
2.1.2
Syarat
Tumbuh Tanaman Cabai
a.
Di tanam pada dataran rendah sampai ketinggian 2000
meter dpl.
b.
Cabe dapat beradaptasi dengan baik pada temperatur 24
– 27 derajat Celsius dengan kelembaban yang tidak terlalu tinggi.
c.
Dapat ditanam pada tanah sawah maupun tegalan yang
gembur, subur, tidak terlalu liat dan cukup air.
d.
pH tanah yang optimal antara 5,5 sampai 7.
e.
Pengairan dapat menggunakan irigasi, air tanah dan air
hujan
2.1.3
Budidaya
Tanaman Cabai
· Jarak tanam yang digunakan adalah 50 – 60 cm jarak
antar lubang dan 60 – 70 cm untuk jarak antar barisan dengan pola penanaman
model segitiga atau zig-zag.
· Pilihlah
bibit cabe yang sehat dengan ciri-ciri berbatang kuat dan memiliki daun
sebanyak kira-kira 6 helai (umur bibit kira-kira sekitar 20-30 hari).
· Perawatan
tanaman adalah salah satu hal yang sangat penting dalam teknik budidaya cabe.
Perawatan meliputi penyiraman, pemupukan, dan juga pengendalian hama serta
penyakit.
·
Buah cabe yang bagus untuk dipanen
adalah buah yang tidak terlalu muda tapi juga tidak terlalu matang. Cabai dapat dipanen pada umur 90-110 hst. Buah
dipanen adalah buah 80% masak.
2.2 Hama Pada Tanaman Cabai
2.2.1
Ulat
Grayak ( Spodoptera litura F )
Kingdom :
Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Noctuidae
Genus
: Spodoptera
Spesies
: Spodoptera litura F
·
Bioekologi/Morfologi
Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau
keperakan, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Kemampuan
terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km. Telur berbentuk hampir bulat
dengan bagian dasar melekat pada daun (kadangkadang tersusun dua lapis),
berwarna coklat kekuningan, diletakkan berkelompok masing-masing 25−500 butir.
Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada
tanaman inang maupun bukan inang. Bentuk telur bervariasi. Kelompok telur
tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung
ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan.
Larva
mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna hitam
pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh . Pada sisi lateral dorsal terdapat
garis kuning.Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua
atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok. Beberapa hari setelah menetas
(bergantung ketersediaan makanan), larva menyebar dengan menggunakan benang
sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau
tempat yang lembap dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas
cahaya matahari yang rendah. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara
bergerombol dalam jumlah besar
Warna
dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah Agrothis ipsilon,
namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada ulat grayak terdapat
tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang.
·
Daerah Sebaran
Hama ini dijumpai di 22 propinsi dengan rerata
luas serangan 11.163 ha/tahun. Daerah serangan utamanya adalah Lampung, Jawa
Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara
·
Daur Hidup
Ulat grayak
berkembang secara metamorfosis sempurna. Perkembangan S. litura terdiri dari
empat stadia yaitu telur, larva, pupa, dan imago.
Hama ini bersifat polifag atau mempunyai kisaran inang yang cukup luas. Pada
umur 2 minggu, panjang ulat sekitar 5 cm. Ulat berkepompong di dalam tanah,
membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan
panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30−60 hari (lama stadium
telur 2−4 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang berlangsung selama
20−46 hari. Lama stadium pupa 8− 11 hari. Seekor ngengat betina dapat
meletakkan 2.000−3.000 telur.
·
Tanaman Inang
Tanaman inang utama dari ulat grayak yaitu bawang merah. Sedangkan tanaman inang lain dari ulat grayak adalah cabai,
kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang merah,
terung, kentang, kacang kacangan (kedelai, kacang tanah) kangkung, bayam,
pisang,padi, dan tanaman hias. Ulat grayak juga menyerang berbagai gulma,
seperti Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp.,
Cleome sp., Clibadium sp., dan Trema sp.
·
Gejala serangan
Awal
musim kemarau kelembaban udara 70% dan suhu rata-rata 18-23 derajat Celcius
memicu telur menetas. Iklim itu juga memicu perkembangbiakan ngengat. Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis
bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak tulang
daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya larva berada di permukaan
bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok. Serangan berat
menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat.
Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan
defoliasi daun yang sangat berat. serangan ulat yang masih kecil
mengakibatkan bagian daun yang tersisa tinggal epidermis bagian atas dan tulang
daunnya saja. Ulat yang besar memakan tulang daun. Serangan berat dapat
mengakibatkan tanaman menjadi gundul.
·
Siklus Hidup
Perkembangannya bersifat metamorfosis sempurna, terdiri atas stadia telur,
ulat, kepompong, dan ngengat. Ngengat mulai meletakkan telur pada pertanaman
kedelai umur 3 minggu setelah tanam. Setelah telur menetas, ulat tinggal
sementara di tempat telur diletakkan. Beberapa hari kemudian, ulat berpencaran.
Stadium ulat terdiri atas enam instar yang berlangsung 14 hari. Ulat tua
bersembunyi di tanah pada siang hari dan giat menyerang tanaman pada malam
hari. Ulat berkepompong di dalam tanah. Stadium kepompong dan ngengat
masing-masing 8 dan 9 hari. Ngengat meletakkan telur secara berkelompok yang
ditutupi bulu-bulu halus berwarna coklat-kemerahan. Produksi telur rata-rata
1.413 butir/ekor. Stadium telur berlangsung 3 hari. Daur hidup ulat grayak dari
telur ke telur berlangsung 28 hari, sedangkan panjang hidup dari telur hingga
ngengat mati berlangsung 36 hari.
·
Ekologi/Daerah
Sebaran
Ulat grayak
tersebar luas di Asia, Pasifik, dan Australia. Di Indonesia, hama ini terutama
menyebar di Aceh, Jambi, Sumatera Selatan.
·
Pengendalian
a.
Pengendalian dengan teknik budidaya (cultural
control)
Teknik pengendalian ini merupakan usaha memanipulasi agroekosistem untuk
membuat lingkungan pertanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan
perkembang-biakan hama, serta menyediakan habitat bagi organisme menguntungkan.
Beberapa teknik budidaya, antara lain:
o Pergiliran tanaman untuk memutus rantai makanan bagi hama. Misalnya,
pergiliran tanaman kedelai dengan jagung atau padi yang dapat mengatasi masalah
hama karena masing-masing memiliki kompleks hama berbeda.
o Penanaman dalam barisan (strip cropping). Misalnya, menanam kedelai
dan jagung secara berselang-seling pada petak berbeda. Teknik ini dapat
meningkatkan keragaman sehingga tanaman inang tersamarkan dari serangan hama.
Selain itu, tanaman dapat berfungsi sebagai tempat berlindung dan sumber pakan
bagi organisme berguna.
o Penanaman varietas tahan, misalnya varietas Ijen yang toleran terhadap
serangan ulat grayak (Balitkabi, 2008). Menurut Adie (2008), ketahanan kedelai
terhadap ulat grayak ditentukan oleh kepadatan trikoma daun yang berkorelasi
negatif dengan intensitas kerusakan daun. Kepadatan trikoma dari pasangan
persilangan ICH/Wilis, G100H/ICH, dan G100/Wilis berpotensi sebagai kriteria
seleksi ketahanan terhadap ulat grayak.
o Penanaman tanaman perangkap, misalnya kedelai galur MLG3023 atau varietas
Dieng yang ditanam dalam areal seluas 15% dari tanaman utama dapat digunakan
sebagai perangkap bagi ulat grayak. Galur dan varietas tersebut disukai ngengat
untuk meletakkan telurnya (Tengkano et al., 1997).
b.
Pengendalian hayati.
Pengendalian hayati dengan musuh alami dimaksudkan untuk mempertahankan
populasi hama di bawah tingkat yang merugikan tanaman. Musuh alami ulat grayak
dimanfaatkan melalui: a) konservasi, misalnya penggunaan insektisida yang
kurang berbahaya bagi musuh alami, dan b) augmentasi melalui
pembiakan/perbanyakan dan pelepasan musuh alami. Khusus parasitoid dan
predator, pemanfaatan musuh alami melalui konservasi lebih efektif daripada
augmentasi. Beberapa jenis musuh alami ulat grayak, antara lain parasitoid
telur Telenomus sp., parasitoid ulat Snellenius manilae, predator
Euborelia stali, virus patogen Borelinavirus litura, bakteri
patogen Bacillus thuringiensis, dan cendawan patogen Nomuraea rileyi.
c.
Pengendalian mekanis dan fisik
Teknik pengendalian ini bertujuan mengurangi populasi hama dengan cara
mengganggu fisiologi serangga atau mengubah lingkungan menjadi kurang sesuai
bagi hama. Contoh, mengumpulkan kemudian membinasakan kelompok telur dan ulat
yang ada di pertanaman. Selain itu, menggenangi lahan pertanaman, terutama pada
stadia vegetatif akhir dan pengisian polong untuk mematikan ulat grayak yang
berdiam diri di dalam tanah pada siang hari.
d.
Pengendalian Kimia
Insektisida kimia merupakan pilihan terakhir dalam usaha mengendalikan hama
karena berpotensi menimbulkan dampak negatif. Insektisida harus digunakan
sesuai kebutuhan, pada waktu spesifik dalam siklus hidup hama, dan bila cara
lain, seperti pengendalian hayati atau teknik budidaya, gagal menjaga populasi
hama pada tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi. Insektisida tersebut
selain efektif, juga harus selektif terhadap satu atau beberapa jenis hama
saja, dan residunya berumur pendek.
2.2.2
Kutu
Daun (Aphid sp)
Kingdom :
Animalia
Filum :
Arthropoda
Kelas :
Insecta
Ordo :
Hemiptera
Famili :
Aphididae
Genus :
Aphids
Spesies :
Aphids sp
·
Bioekologi/mofologi
Kutu daun (Aphis sp) adalah salah
satu hama
bagi beberapa komoditas tanaman hortikultura. Kutu daun dapat menginang
pada beberapa tanaman komoditas tersebut seperti kentang, apel, jeruk, bawang
merah, apel, cabai tomat, hingga kapas. Kutu yang panjang tubuhnya antara 1 sd
2 mm ini, memiliki warna tubuh yang bervariasi tergantung pada spesies dan
lingkungan hidupnya. Warna tersebut antara lain kuning, kuning kemerah-merahan,
hijau, hijau gelap, hijau kekuning-kuningan, dan hitam suram. Kutu daun ada
yang memiliki sayap dan ada pula yang hidup tanpa sayap.
·
Ekologi
Hama ini terdapat di Indonesia, China, dan
negara-negara penghasil jeruk, dan diseluruh daerah beriklim tropis
·
Gejala
Serangan
Kutu
daun ini menyerang
tunas dan daun
muda dengan cara menghisap cairan tanaman sehingga
helaian daun menggulung. Koloni kutu ini berwarna hitam,
coklat atau hijau kekuningan tergantung jenisnya. Kutu menghasilkan
embun madu yang melapisi permukaan daun sehingga merangsang
jamur tumbuh (embun
jelaga). Di samping itu, kutu juga mengeluarkan
toksin melalui air ludahnya sehingga
timbul gejala kerdil, deformasi dan terbentuk puru pada helaian daun. Pada tanaman cabai,
serangan kutu daun menyebabkan perkembangan daun dan bunga yang terserang
menjadi terhambat. Serangan kutu daun umumnya dimulai dari permukaan daun
bagian bawah, pucuk tanaman, kuncup bunga, dan batang muda. Dan kadang kali
kutu daun juga dapat berperan sebagai vektor pembawa virus penyebab beberapa
penyakit tanama.
· Siklus Hidup
Kutu
daun dimulai dari telur yang menetas pada umur 3 sd 4 hari setelah diletakan.
Telur menetas menjadi larva dan hidup selama 14 sd 18 hari dan berubah menjadi
imago. Imago kutu daun mulai bereproduksi pada umur 5 sd 6 hari pasca perubahan
dari larva menjadi imago. Imago kutu daun dapat bertelur sampai 73 telur selama
hidupnya.
2.2.3
Thrips
Kingdom :
Animalia
Divisi :
Arthropoda
Kelas :
Insecta
Ordo :
Thysanoptera
Famili :
Thripidae
Genus :
Thrips
Spesies :
Thrips sp
·
Bioekologi
dan Morfologi
Imago berukuran sangat kecil sekitar 1
mm, berwarna kuning sampai coklat kehitaman. Imago yang sudah tua berwarna agak
kehitaman, berbercak – bercak merah atau bergaris – garis. Betina mempunyai 2 pasang
sayap yang halus dan berumbai/jumbai seperti sisir bersisi dua. Pada musim
kemarau populasi lebih tinggi dan akan berkurang bila terjadi hujan lebat. Umur
stadium serangga dewasa dapat mencapai 20 hari. Telur berbentuk oval/seperti
ginjal rata – rata 80 butir per induk. Telur berbentuk oval/seperti ginjal rata
– rata 80 butir per induk, diletakkan di permukaan bawah daun atau di dalam
jaringan tanaman secara terpencar,akan menetas setelah 3 – 8 hari. Nimfa
berwarna pucat, putih/kekuningan, instar 1 dan 2 aktif dan tidak bersayap. Nimfa
yang tidak aktif berada di permukaan tanah sekitar tanaman. Perkembangan pupa
menjadi trips muda meningkat pada kelembaban relatif rendah dan suhu relatif
tinggi. Daur hidup sekitar 20 hari, di dataran rendah 7 – 12 hari, Hidup
berkelompok.
·
Ekologi
Di dunia
hama ini untuk sementara hanya terdapat di benua Eropa dan Asia. Di Indonesia
hama ini dilaporkan terdapat hampir di seluruh wilayah antaralain di pulau
Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.
·
Gejala
Serangan
Dampak
langsung serangan, gejala awal pada permukaan bawah daun berwarna keperak –
perakan mengkilat, dan pada serangan lanjut daun akan berwarna coklat, hingga
proses metabolisme akan terganggu. Selanjutnya pada daun akan menjadi keriting
dan keriput . Pada serangan berat, daun, pucuk serta tunas menggulung ke dalam
dan timbul benjolan seperti tumor dan pertumbuhan tanamanterhambat, kerdil
bahkan pucuk mati. Serangan pada buah menimbulkan bercak – bercak kecoklatan
pada pangkal buah, sehingga kualitas buah sangat menurun.
Dampak
secara tidak langsung, Trips merupakan
vektor penyakit virus mosaik dan virus keriting. Gejala serangan awal timbul
akibat hama menghisap cairan permukaan bawah daun dan atau bunga ditandai oleh
bercak – bercak keperakan mengkilat, daun akan menjadi keriting atau keriput.
Jika serangan terjadi pada awal pertanaman maka akan terjadi gejala fatal
berupa penyakit kerdil (dwarfing) dan pada akhirnya layu dan kemudian akan
mati.
·
Tanaman
Inang
Dengan tanaman inang utama sayuran dari
keluarga bawang (Allium spp.), keluarga Solanaceae (kentang, tomat, dan
terung), Brassica (kubis), kacang – kacangan.
·
Siklus
Hidup
Siklus
hidup hama trips sekitar 3 minggu. Di daerah tropis siklus hidup tersebut
bisa lebih pendek (7 - 12 hari), sehingga dalam satu tahun dapat mencapai 5 – 10
generasi. Trips dewasa dapat hidup sampai 20 hari. Perkembangbiakan secara phartenogenesis akan menghasilkan serangga-serangga jantan. Menurut Kalshoven
(1981) bahwa imago betina Thrips dapat
meletakkan telur sekitar 15 butir secara
berkelompok kedalam jaringan epidhermal daun tanaman dengan masa inkubasi telur sekitar 7 hari.
· Pengendalian
a. Kultur
teknis
o
Penggunaan mulsa perak di dataran tinggi, dan jerami
di dataran rendah untuk mengurangi infestasi serangga pengisap daun dan
mengurangi gulma.Penggunaan mulsa plastik perak di guludan dapat menghalau
serangan Trips karena adanya refleksi cahaya matahari yang dipantulkan mulsa,
sehingga menunda serangan Thrips yang biasanya terjadi pada umur 14 hari
setelah tanam (hst) menjadi 41 hst, selain itu juga mulsa plastik dapat
menghalangi Trips mencapai tanah pada saat akan menjadi pupa. - Populasi hama
biasanya meningkat pada musim kemarau pada kondisi cuaca kering. Thrips tidak
menyukai kondisi lingkungan yang lembab. Pengairan yang cukup merupakan salah
satu cara pengendalian yang tepat untuk Thrips. Misalnya mempertahankan
permukaan air diparit pada ketinggian 15 – 20 cm dari permukaan bedengan untuk
menciptakan kondisi lingkungan yang lembab disekitar tanaman.
o
Menanam tanaman penghalang (barrier) misalnya jagung
di sekeliling pertanaman cabai (5-6 baris) dengan jarak tanam rapat 15 – 20 cm
yang di tanam 2 – 3 minggu sebelum tanam cabai untuk mengurangi masuknya Trips
ke lahan pertanaman. Tanaman border lainnya antara lain tagetes, orok – orok,
dan kacang panjang.
b. Fisik/Mekanis
o
Membakar sisa jerami/mulsa yang dipakai selama
pertanaman
o
Mengambil Trips dengan menggunakan kapas/Cotton bud
o
Penggunaan perangkap likat warna biru, putih, atau
kuning, sebanyak 40 buah per hektar atau
2 buah per 500 m2 dipasang di tengah pertanaman dengan ketinggian + 50 cm
(sedikit di atas tajuk tanaman) sejak tanaman berumur 2 minggu. Setiap minggu
perangkap diolesi dengan oli atau perekat.
c. Biologi
Pemanfaatan
musuh alami predator kumbang Coccinella rapanda, Menochilus sexmaculatus,
Amblyseius cucumeris, Paederus fuscipes, Orius minutes, Chilomenes
sexmaculatus, Chilocorus nigrita, dan Scymnus latermacullatus. Jamur patogen
Verticillium lecani (konsentrasi 3 x 108 spora/ml) dan Entomophthora sp.
d.
Kimia
Jika saat
pengamatan ditemukan 0,7 ekor kutu daun /tanaman contoh (7 ekor nimfa/10 daun)
atau persentase kerusakan oleh serangan hama pengisap telah mencapai 15% per
tanaman contoh dianjurkan menggunakan pestisida kimia sintetik yang terdaftar
dan diizinkan oleh Menteri Pertanian, misalnya yang berbahan aktif abamectin,
spinosad, imidakloprid, karbosulfan dan diafentiuron.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Tempat
dan Waktu Pengamatan
Tempat :
Lahan Cabai Apeldento, Karangploso
Waktu :
16.00 – 17.00 WIB
Hari/ Tanggal : Sabtu, 19 Oktober 2013
3.2 Hasil
Pengamatan
Berdasarkan hasil pengamatan di lapang,
ditemukan dua jenis hama yaitu Spodoptera
litura (Ulat Grayak) dan Aphis gossypii
(Kutu Daun).
3.2.1 Spodoptera
litura (Ulat Grayak)
Spodoptera
litura merupakan salah satu hama utama pada tanaman cabai. Hama ini merupakan
hama polifag. Larva ini mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai kalung/bulan
sabit warna hitam pada segmen abdomen ke empat dan ke sepuluh. Pada sisi
lateral dan dorsal terdapat garis kuning. (Solopane, 2013)
Larva
yang masih kecil merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian
atas sehingga daun menjadi transparan dan hanya tersisa tulang-tulang saun saja.
Larva instar lanjut akan merusak tulang daun dan menyerang buah. Hama ini aktif
pada malam hari. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang
secara berkelompok. Gejala serangan pada buah ditandai dengan timbulnya lubang
tidak beraturan pada buah. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena
daun dan buah habis dimakan ulat, umumnya terjadi pada musim kemarau.
Solopane
(2013) menjelaskan, pengendalian pada ulat grayak dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara, seperti pengendalian secara kultur teknis, fisik/mekanik,
biologi, dan kimia.
3.2.1.1 Kultur Teknis
Pengendalian kultur teknis dapat
dilakukan dengan sanitasi lahan dari gulma dan pengolahan lahan secara
intensif. Membersihkan lahan pertanaman cabai dengan rutin dilakukan agar ulat
grayak tidak mempunyai inang sementara.
3.2.1.2 Fisik/ mekanik
Pengendalian secara fisik/mekanik
dapat dilakukan dengan mengumpulkan kelompok telur, larva, pupa, dan bagian
tanaman yang terserang kemudian memusnahkannya. Selain itu dapat digunakan feromon
seks untuk memerangkap ngengat jantan. Penggunaan feromon seks ini lebih
menguntungkan karena tidak berdampak negative bagi lingkungan, tidak
menimbulkan resistensi pada hama dan dapat memperlambat perkembangan populasi
hama tersebut.
3.2.1.3 Biologi
Pengendalian secara biologi dapat
dilakukan dengan pemanfaatan musuh alami patogen serangga Sl-NPV (Spodoptera litura – Nuclear Polyhedrosis
Virus), Bacillus thuringensis,
Aspergillus flavus, Metharrhizium anisopilae, Beauveria Bassiana, predator (Carabidae,
Andrallus sp. Rhinocoris fuscipes, Paederus fuscipes, Lycosa pseudoannulata), parasitoid (Cotesia ruficrus, Apanteles sp., Telenomus spodopterae, T. remus,
Sturnia inconspicuoides, Trichogramma sp., Microplistis similis, Peribeae sp.,
Eriborusargenteopilosus).
3.2.1.4 Kimia
Pengendalian secara kimia dapat
dilakukan ketika cara-cara diatas tidak mampu mengendalikan populasi hama ulat
grayak. Insektisida dengan bahan aktif betasiflutrin, klorfluazuron,lufenuron,
dan sipermetrin.
3.2.2 Aphis gossypii (Kutu Daun)
Kutu daun atau sering
disebut Aphid adalah serangga yang dapat ditemukan di wilayah tropis maupun
subtropis. Hama ini memakan segala jenis tanaman (polifag) termasuk cabai. Kutu
daun berkembang biak dengan 2 cara, yaitu dengan perkawinan biasa dan tanpa
perkawinan atau telur-telurnya dapat berkembang menjadi anak tanpa pembuahan
(partenogenesis). Daur hidup hama ini berkisar antara 7 – 10 hari.
Menurut Riyanto (2010) Hama ini menyerang tanaman cabai
dengan cara menusukkan mulutnya lalu mengisap cairan daun, pucuk, tangkai bunga
ataupun bagian tanaman lainnya. Aphis gossypii dapat menyebabkan tanaman mejadi
kerdil, Serangan berat menyebabkan daun-daun melengkung, keriting,
belang-belang kekuningan (klorosis) dan akhirnya rontok sehingga produksi cabai
menurun.
Kehadiran kutu daun di kebun cabai, tidak hanya menjadi
hama tetapi juga berfungsi sebagai penular (penyebar) berbagai penyakit virus.
Di samping itu, kutu daun mengeluarkan cairan manis (madu) yang dapat menutupi
permukaan daun. Cairan manis ini akan ditumbuhi cendawan jelaga berwarna hitam
sehingga menghambat proses fotosintesis. Serangan kutu daun menghebat pada
musim kemarau.
Pengendalian secara terpadu terhadap hama ini dapat
dilakukan dengan cara kultur teknis, biologis, fisik/mekanik, dan kimiawi
3.2.2.1 Kultur
teknik
Pengendalian dengan cara kultur teknis dapat dilakukan dengan
menanam tanaman perangkap (trap crop) di sekeliling kebun cabai, misalnya
jagung. Selain itu dapat digunakan mulsa plastic berwarna perak untuk menekan
perkembangannya.
3.2.2.2 Biologis
Pengendalian secara biologis dapat dilakukan dengan pemanfaatan
musuh alami yaitu Menochillus
segmaculatus, Harmonia actomaculata, H. syrpids
3.2.2.3 Fisik/mekanik
Pengendalian
secara fisik/ mekanik dapat dilakukan dengan cara memangkas tanaman yang
terserang hama dan memusnahkannya dengan dibakar.
3.2.2.3 Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan yaitu dengan semprotan
insektisida berbahan aktif metidation. (Dinas Pertanian, 2013)
BAB
IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
·
Hama penting pada tanaman cabai
adalah Ulat Grayak, Kutu Daun, dan Thrips
·
Hama yang ditemukan pada lahan
cabai Apeldento, Karangploso adalah Ulat Grayak dan Kutu Daun
·
Pengendalian yang dapat
dilakukan pada hama tersebut adalah pengendalian secara kultur teknis, biologis,
fisik/mekanik, dan kimiawi
DAFTAR PUSTAKA
Riyanto. 2010. KELIMPAHAN SERANGGA PREDATOR KUTU
DAUN (Aphis gossypii) (GLOVER) (HEMIPTERA: APHIDIDAE) SEBAGAI SUMBANGAN MATERI
KONTEKSTUAL PADA MATA KULIAH ENTOMOLOGI DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FKIP UNSRI *. FKIP Universitas Sriwijaya
Dinas Pertanian. 2013. Merawat Tanaman Bougenville. http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/1280 (Online). Diakses pada 18 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar