Minggu, 17 Februari 2013

Budidaya Suweg (Amorphophallus campanulatus) dengan Naungan Markisa Ungu (Passiflora edulis) dan Penambahan Gibberellin(GA3) untuk Memaksimalkan Ukuran dan Hasil Produksi sebagai Komoditas Diversifikasi Pangan Unggulan Indonesia


ROCKY PAULUS BATUBARA





PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013


KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat dan taufik-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah Bahasa Indonesia yang berjudul “Budidaya Suweg (Amorphophallus  campanulatus) dengan Naungan Markisa Ungu (Passiflora edulis) untuk Memaksimalkan Hasil  Produksi sebagai Komoditas  Diversifikasi Pangan Unggulan Indonesia” dengan baik, tidak lupa sholawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang berjuang di jalan Allah hingga akhir zaman.
Selesainnya penulisan  makalah ini berkat dukungan dan bantuan semua pihak yang terkait didalamnya. Untuk itu penulis menyampaikan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1.      Orang tua di rumah yang senantiasa memberikan do’a dan dukungannya.
2.      M. Hambali, SS,M.Pd selaku dosen pengampu matakuliah Bahasa Indonesia.
3.    Rika Wulandari dan Dewa Ayu Kadek Dwi A. asisten yang membantu dalam pengerjaan dan  penyelesaian makalah  ini.
4.    Segenap pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penulisan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan kedepannya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Malang, 30 Mei 2013

Penulis




I. PENDAHULUAN

 

 

1.1  Latar Belakang


Sejalan dengan krisis ekonomi global tiga tahun terakhir maka pemerintah Indonesia mendorong industri dalam negeri menggunakan bahan baku lokal dan mengurangi ketergantungan pada bahan impor (Arisoesilaningsih, 2009). Suweg adalah tanaman umbi tradisional yang  telah dimanfaatkan sejak lama di Indonesia. Di Jawa, umbi direbus dan dikonsumsi sebagai pengganti nasi terutama  selama musim kering, selain itu suweg  telah diketahui banyak manfaatnya sehingga mempunyai nilai ekonomi tinggi (Prihatyanto, 2007). Umbi suweg mengandung glukomanan yang banyak manfaatnya sebagai bahan baku  konniyaku makanan khas Jepang, perekat, industri tekstil, industri film, industri listrik, industri senjata perang dan gelatin mannan sebagai pengganti media tumbuh (Lingga et al.,1989). Umbi suweg mengandung pati dalam jumlah besar sehingga sering dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan (Jansen et al., 1996).
Budidaya suweg di Indonesia belum maksimal, umbi suweg yang diekspor selama ini berasal dari tanaman yang tumbuh liar di bawah tegakan  hutan produksi Perum Perhutani di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Secara alami suweg tumbuh di hutan tropika dataran rendah  hingga 100-1000 meter di atas permukaan  laut. Produksi umbi suweg di bawah tegakan hutan Jawa Timur minimal 4 ton per ha dan bila dibudidaya lebih intensif dapat mencapai 8-9 ton per ha (Arisoesilaningsih, 2009). Pada tahun 2009 total ekspor umbi suweg di Indonesia mencapai 235 ton , peluang industri suweg dalam dan luar negeri sangat tinggi dan produksi saat ini belum memenuhi kebutuhan lebih dari 3000 ton per tahun, maka masyarakat  lebih memilih berburu di hutan-hutan termasuk memperoleh bibit juga mengandalkan pasokan alam daripada membudidayakannya di lahan. Akibatnya, populasi suweg di alam terancam kelestariannya.
 Berdasar permasalahan tersebut, perlu adanya pengembangan budidaya suweg secara intensif pada lahan budidaya. Agar suweg dapat dibudidayakan pada lingkungan yang bukan habitat aslinya, maka harus dilakukan modifikasi lingkungan tempat tumbunnya dengan penanaman tanaman  naungan. Masa panen suweg antara 5-6 bulan, sehingga dalam waktu enam bulan tersebut  tentunys lahan tidak dapat berproduksi, untuk mengatasinya tanaman naungan yang digunakan pada budidaya suweg haruslah tanaman yang dapat berproduksi kurang dari enam bulan namun berpotensi untuk menunjang produktivitas  suweg. Selain itu, untuk memaksimalkan fase vegetatif disemprotkan hormon giberelin agar umbi dapat berkembang maksimal sebelum ditanam pada lahan.
Tanaman naungan yang akan digunakan adalah markisa ungu, markisa ungu memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai tanaman naungan suweg baik dari segi ekonomi maupun ekologinya. Tanaman markisa ungu dan suweg , sama-sama tumbuh baik pada dataran tinggi, selain itu markisa ungu dapat berproduksi sepanjang tahun dan dapat berproduksi setelah tiga bulan tanam (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 2010).  Penanaman suweg dan  markisa ungu  di tanam pada satu lahan yang sama, markisa ungu ditanaman pada jarak 4x5 m, dan di pasang penyanga yang membentuk naungan dengan tinggi 2,5 m. Dalam naungan tersebut di tanam suweg dengan jarak 2x1,5 m. Dengan demikian lahan dapat termanfaatkan dengan maksimal dan suweg dapat dibudayakan pada lahan budidaya dan tidak harus menjarah  hutan untuk memenuhi permintaan konsumen, selain itu tentunya dengan budidaya intensif maka produksi yang dihasilkan kan lebih optimal dan dapat berkelanjutan sehingga suweg dapat menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1.      Bagaimana potensi pembudidayaan suweg (Amorphophallus  campanulatus)  menggunakan naungan  markisa ungu (Passiflora edulis) dan penyemprotan hormone giberelin untuk mendapatkan hasil produksi suweg maksimal?
2.      Bagaiman cara budidaya suweg (Amorphophallus  campanulatus)  dengan menggunakan tanaman naungan markisa ungu (Passiflora edulis) dan penyuemprotan hormon giberelin??
3.      Bagaimana prediksi keberhasilan inovasi terbaru dalam pembudidayaan suweg (Amorphophallus  campanulatus)  dengan naungan markisa ungu (Passiflora edulis) dan penyemprotan hormon giberalin?

1.3 Tujuan Penulisan


1.   Mengetahui potensi pembudidayaan suweg (Amorphophallus  campanulatus)   menggunakan naungan markisa ungu (Passiflora edulis) dan penyemprotan hormon giberelin.
2.   Mengetahui cara pembudidayaan tanaman suweg (Amorphophallus  campanulatus)   pada lahan budidaya dengan tanaman naungan markissa ungu (Passiflora edulis) dan penyemprotan hormon giberelin?
3.   Terwujudnya pola pembudidayaan  suweg (Amorphophallus  campanulatus)  yang optimal pada lahan budidaya sebagai komoditas unggulan Indonesia untuk mencapai swasembada suweg

1.4 Manfaat Penulisan


1.      Sebagai solusi atas pembudidayaan  suweg Amorphophallus  campanulatus) yang  belum optimal
2.      Sebagai referensi pola pembudidayaan  baru suweg Amorphophallus  campanulatus) dan markisa ungu
3.      Sebagai inovasi untuk mendukung pembudidayaan suweg Amorphophallus  campanulatus) secara masal dan berkelanjutan sebagai diversifikasi pangan potensial

 

 

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Suweg

 

Suweg merupakan tanaman berumbi telanjang, berbentuk globose (Jansen et all.,1996) dan memiliki batang semu dengan satu daun tunggal yang terpecah-pecah dan  tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya (Kay,1973). Tangkainya berwarna hijau dan memiliki belang putih yang menyebar rata diseluruh permukaan batang. Batang juga dipenuhi dengan bintil- bintil, halus yang menyebar rata, panjang batang berkisar antara 50-150 cm dan helaian daun berdiameter 75-200 cm(Jansen et all.,1996). Dengan lebar daun demikian, mengakibatkan indeks luas daun rendah sehingga populasi tanaman per hektar menurut Soemono et al. (1986) dapat mencapai 40000- 50000 tanaman. Suweg dipelihara untuk dimakan umbinya dan secara tradisional parutan umbi yang segar dapat dipakai untuk obat luka. Umbi suweg mengandung kristal kalsium oksalat yang membuat rasa gatal, senyawa tersebut dapat dihilangkan dengan perebusan.
Sedangkan bunganya termasuk bunga mejemuk dan uniseksual (bunga jantan dan betina ada dalam dua bunga yang terpisah). Bunga jantan dan betina dapat terlihat hanya saat bunga mekar, tongkol bunga terdiri dari bunga betina dibagian bawah, bunga jantan di tengah dan bagian tangkai teratas bunga mandul. Semuanya tersusun dalam tangkai yang menjulang di tengah bunga, maka yang disebut bunga, sebenarnya hanyalah seludang, sehingga  dapat disebut bunga semu (Sufiani,1993). Umbi suweg, berbentuk bundar agak pipih dan berkulit kasar, dengan serabut menyerupai akar yang tumbuh jarang di permukaan kulitnya.. Seluruh permukaan kulit umbi suweg dipenuhi dengan bintil-bintil dan tonjolan, sebagai anak umbi dan tunas yang dapat dugunakan untuk perbanyakan atau perkembangbiakan secara vegetative dengan menanam tunas atau umbi anaknya. Sementara di bagian atas tepat di tengah-tengah lingkaran umbi, terletak tunas utamanya (Sufiani.1995).


 








Gambar 1:  Tanaman suweg dam umbinya.
(Sumber gambar: Sumarwoto.2004)

2.2 Syarat Hidup Suweg

           

Suweg merupakan tanaman yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan hidupnya, tanaman suweg dapat tumbuh baik pada vegetasi sekunder yaitu tempat lembab yang terlindungi, serta pada dataran rendah hingga 800m dpl. Suhu optimum yang diperlukan untuk pertumbuhannya adalah 25-350 C dan curah hujan 1000-1500 mm/tahun. Meskipun tanaman suweg dapat ditemui pada hamper semua jenis tanah, kecuali rawa, namun partumbuhan umbi terbaik mencapai pertumbuhan maksimumnya pada jenis tanah lempung berpasir dengan pH 6 - 7.5(Jansen et all.,1996).

 

2.3 Pembudidayaan Suweg Di Indonesia


Di seluruh dunia terdapat sekitar 90 jenis Amorphophallus spp.,yang diperkirakan lebih dari 20 jenis berasal dari Indonnesia, dengan 8 jenis ditemukan di Jawa. Namun di Indonesia Amorphophallus spp, termasuk dalam kelompok “minor tuber crop” dengan ciri-ciri minimnya perhatian pemerintah, peneliti  dan lembaga pembudidaya konservari pangan lainnya, justru cenderung diabaikan dalam setiap pembahasan sumber pangan utama. Kecenderungan memarginalisasi, terjadi secara tidak langsung dari aspek kebijakan pemerintah pada masa dahulu yang mengutamakan peningkatan produksi beras (Yuzammi, 2002).
Sebenarnya, komoditas ini pernah menjadi komoditas ekspor Indonesia sejak sekitar tahun 1920-an. Tahun 1987 ekspor tercatat 86 ton dan pada tahun 1991 tercatat 225 ton dengan keseluruhan produksi berasal dari eksploitasi di hutan (Sufiani,1995). Secara tradisonal para petani di Blitar, Kuningan dan Banjarmasin adalah daerah-daerah yang menggunakan spesies liar sebagai pakan ternak. Jenis yang tidak gatal digunakan untuk makanan setelah dikupas, dirajang, dicuci, dikukus bersama kelapa dan gula merah (Santosa et all., 2002). Sebenarnya jika dilihat dari kondisi lahan Indonesia yang subur, tanaman tropika seperti suweg ini sangat mudah dibudidayakan, terlebih tanaman ini dpat ditumpang sarikan dengan tanaman tahunan sebagi naungannya, sehingga budidaya suweg ini dapat berjalan dan maju dengan pesat dengan pengolahan produksi yang tepat. Sayangnya di Indonesia masih sebatas pembudidayaan untuk pangan keluarga saja, dan itu pun hanya masyarakat desa yang mengenalnya, selain itu belum dikenalnya suweg secara luas dan umur tanaman suweg yang relatif lebih panjang dari pada tanaman palawija lainya, serta faktor keberhasilan yang kurang pasti membuat pembudidayaan suweg belum berkembang (Santosa et all., 2003).

2.4 Jenis dan Manfaat Suweg


   Suweg sering disebut suweg, acung, ileus, atau bunga bangkai termasuk famili Araceae (talas-talasan). Dari 90 jenis suweg di dunia,20 diantaranya ada di Indonesia dan banyak dijumpai, diantaranya: A. campanulatus, A. oncophyllus, A. variabilis, A. spectabilis, A.konjac, A. decumsilvae,A. paeoniifolius, A. mullerri, dan yang sangat terkenal adalah A. titanium (bunga bangkai) A. decuss-silvae, dan A.gigaskarena bunganya sangat besar dan indah. Sedangkan untuk bahan makanan dan industri kebanyakan yang digunakan adalahadalah A. campanulatus, A. oncophylus,dan A. variabilis (Sufiani, 1993).
Umbi suweg memiliki beberapa manfaat sebagai berikut:
1)            Umbi suweg mwmiliki nilai indeks Glikemik (IG) rendah yaitu 42, dan bermanfaat untuk menekan kadar gula darah sehingga baik untuk penderita Diabetes. Selain itu, dapat mengganti sel-sel dalam tubuh, membersihkan dan mempercepat peredaran darah, tidak mengandung lemak sehingga membatasi kegemukan, menghilangkan kolesterol sehingga baik bagi penderita darah tinggi dan Diabetes, obat luka kena gigitan ular berbisa atau lipan serta sebagai obat luka luar  lainnya.
2)            Tepung umbi suweg dapat pula digunnakan untuk kosmetik dan lem. Pengolahan umbi suweg ke dalam bentuk tepung dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar berbagai makanan seperti Roti, Biskuit, Mie, Agar-agar, dan tahu.Selain diolah ke dalam bentuk tepung, umbi suweg juga bisa dikonsumsi secara langsung dengan cara dikukus, dikolak, dan diolah menjadi Bubur. Sehingga dapat digunakan sebagai pengganti bahan makanan pokok, bahan baku snack, manisan, dan makanan pengudap (seperti mie) (Rosman, R. & S. Rusli, 1991).

2.5  Peran Markisa Ungu (Passiflora edulis)   Sebagai Naungan

 

Secara umum markisa memiliki pertumbuhan sulur dan batang yang  menyebar luas, kemudian sulur yang meyebar tersebut dapat menutupi tanaman di bawahnya dengan baik jika dirambatkan dengan penyangga yang tinggi. Sehingga tanaman markisa sangat bagus untuk naungan tanaman- tanaman yang memerlukan naungan,  markisa merupakan tanaman merambat, sehingga dengan satu  tanaman  mampu menghasilakan kanopi dan naungan cukup besar, sehingga tidak mengakibatkan perebutan unsur hara dengan tanaman budidaya yang dinaunginya, tingkat kerapatannya juga tinggi dan usia yang cukup panjang membuat naungan dari tanaman markisa ini tidak  perlu sering diganti(Sumarwoto.2004).
Tanaman markisa ungu tumbuh baik pada dataran tinggi, selain itu  markisa ungu dapat berproduksi sepanjang tahun dan dapat berproduksi setelah tiga bulan tanam (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 2010).  Markisa ungu memiliki daun yang lebih tipis dan ukurannya lebih kecil dibanding jenis markisa lain, sehingga akan cocok untuk dijadikan naungan karena kanopi daun tidak akan terlslu rimbun, sehingga sinar matahari dapat masuk dan diserap tanaman yang dinaunginya.

2.6 Pengaruh Berbagai Jenis Naungan Terhadap Pertumbuha Suweg


Budidaya suweg  memerlukan tanaman keras sebagai tegakan yang melindunginya dari sinar matahari langsung. Sebenarnya, kerapatan pohon atau keteduhan daun lahan yang akan ditanami tidak harus terlalu rapat dan keteduhan yang diberikanpun hanya minimal sekali, yang penting, pada saat matahari terik bersinar di tengah hari, daun suweg bisa terlindung dari sinarnya. Daun akan layu dan  tanaman tidak akan tumbuh optimal bila terkena sinar berlebih dan  akan  mati. Naungan yang ideal untuk tanaman suweg adalah jenis tanaman hhutan seperti  jati, mahoni sono, dan tanaman kayu lain. Tingkat kerapatan naungan minimal 40% sehingga semakin rapat semakin baik (Sufiani.1995). Namun, pada hasil produksi tanaman suweg sendiri, terlihat sangat baik pada lingkungan hutan atau agroforestry yang di dalamnya tumbuh tanaman berkayu tahunan, misalnys pada hutan jati produksi suweg mencapai sekitar 80 ton dalam sekali panen(Santosa et all,. 2003).

2.7 Fungsi Hormon Gibberellin (GA3) pada Tanaman

 

Hormon dalam tubuh tanaman memiliki fungsi masing-masing salah satunya adalah hormon pertumbuhan atau fitohormon, yang terdiri dari auksin, gibberellin, sitokinin dan fenolik. Gibberellin adalah salah satu zat ZPT yang banyak dijumpai pada bakteri, fungi, Paku-pakuan, gymnospermae dan angiospermae. Wattimena (1987), mengungkapkan bahwa gibberellin dihasilkan oleh filtrat kultur cendawan Gibberella fujikuroi. Terdapat sekitar 55 jenis Gibberellin yang telah didapati pada tanaman sebagai fitohormon, dan jenis yang paling mudah dijumpai adalah GA3 (C19H22O16) (Krishnamoorthy,1981)

2.8 Diversifikasi Pangan Indonesia


Namun demikian, hingga kini produk pangan lokal Indonesia belum mampu untuk mematahkan dominasi pangan dari beras atau tepung terigu. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya inovasi teknologi terhadap produk pangan lokal tersebut. Di sisi lain, di era global ini, tuntutan konsumen terhadap pangan terus berkembang, selera konsumen menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap produsen. Oleh karena itu, inovasi teknologi terhadap produk pangan lokal mutlak harus dilakukan, juga inovasi teknologi terhadap pangan lokal bukan saja terhadap aspek mutu, gizi, dan keamanan yang selama ini didengungkan oleh berbagai pihak.Inovasi teknologi juga harus menyentuh aspek preferensi konsumen, yaitu kesesuaian, baik kesesuaian terhadap selera, kebiasaan, kesukaan; kebudayaan, atau terlebih-lebih terhadap kepercayaan/agama.Karena pada akhirnya, konsumenlah yang menentukan pilihan terhadap suatu produk pangan tersebut dikonsumsi atau tidak, meskipun produk tersebut dinyatakan bermutu, bergizi, dan aman untuk dikonsumsi.


III. PEMBAHASAN



3.1 Potensi Pembudidayaan Suweg dengan Naungan Markisa Ungu untuk  Memperoleh  Produktivitas Maksimal

 

Berdasarkan data penelitian (Arisoesilaningsih, dkk.,2009) optimalisasi diameter dan volume umbi suweg di lahan agroforestri direkomendasikan budidaya suweg dengan mengendalikan kondisi lingkungan tanam umbi suweg yaitu ketinggian lebih dari 400 mdpl, suhu bulanan selama periode vegetatif  tidak terlalu rendah, kadar Ca rendah, KTK (Kapasitas Tukar Kation) optimal dan mempertahankan vegetasi penutup tanah.  Pengaplikasian suweg dan markisa ungu pada lahan budidaya yang sama diharapkan dapat menunjang produktivitas tanaman suweg, selain itu lahan tetap dapat berproduksi saat suweg belum mencapai perkembangan vegetatif maksimalnya.
Di Indonesia secara komersil markisa ungu dibudidayakan pada dataran tinggi pada daerah Sumatra serta Sulawesi.  Hal tersebut menjadi salah satu persamaan syarat tumbunya dengan suweg. Secara umum markisa tumbuh memanjang dengan sulur, daun markisa ungu  berbentuk menjari dengan panjang daun 9-12 cm , ruas antar batang pada markisa ungu  berkisar antara 5-7 cm (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 2010).  hal ini memungkinkan markisa untuk dijadikan tanaman naungan pada budidaya suweg.
Produktivitas umbi suweg dapat maksimal pada lahan yang ternaungi. Menurut Hartanto (1994),  suweg  yang ditanam dengan tanaman jagung dapat menghasilkan umbi sebesar 40 ton/ha, sedangkan pada sawah atau tegalan sebesar 11-20 ton/ha. Diharapkan dengan penggunaan naungan markisa produktivitasnya dapat lebih tinggi lagi.


3.2 Teknik Budidaya Suweg dengan Naungan Markisa Ungu dan Penyemprotan Hormon Gibberellin (GA3)


Pemberian GA3 menginduksi pembungaan pada tanaman suweg Peningkatan konsentarasi GA3 akan menghambat pembungaan pada awal pertumbuhan, hal ini diduga karena hormone GA3 merupakan hormon pertumbuhan yang meningkatkan laju pertumbuhan pada fase vegetatif. Sehingga tanaman terus tumbuh besar, namun bunganya terhambat. Dengan pertumbuhan vegetatif yang pesat akan meningkatkan aktivitas fotosintesis tanaman, sehingga secara tidak langsung juga menyebabkan pembentukan umbi lebih besar (Respatie, 2004). Penyemprotan hormon GA3 dilakukan menggunakan sprayer pada bibit suweg. Bibit suweg yang digunakan berasal dari  perkembang biakan vegetatif melalui umbi katak, yaitu umbi kecil yang muncul di ketiak daun, dapat dikumpulkan kemudian disimpan sehingga bila memasuki musim hujan dapat langsung ditanam  pada lahan yang telah disiapkan.umbi katak yang digunakan sebagai bibit disemprot dan diamkan selama semalam, baru kemudian ditanam pada lahan.
 Untuk pengaplikasiaan naungannya, sulur markisa diatur merambat pada pada tempat penjalaran yang telah diatur denngan panjang rangka penjalaran 4 m dengan lebar 5 meter dan tinggi 2,5 m. Suweg ditanam dengan jarak 2x1,5 m di dalam naungan markisa, dalam lubang galian suweg diberi pupuk dan sekam, penggunaan sekam dimaksudkan agar saat panen umbi suweg mudah untuk diambil. Pada satu rangkaian naungan markisa maksimal dapat ditanam lima bibit suweg. Berikut merupakan pola lahan budidaya suweg dengan naungan markisa ungu:








                                                                           Keterangan:
                                                                           Bibit Markisa
                                                                            Bibit Suweg
                



Gambar 2.  Denah Budidaya Suweg pada Naungan Markisa
Sumber : Penulis (2013)
Bibit suweg ditanam dalam naungan markisa setelah markisa berumur tiga bulan hal ini dimaksudkan agar sulur markisa sudah hampir memenuhi  tempat rambatan. Sedangkan pembudidayaan suweg pada lahan terbuka tanpa naungan pengolahan tanah dilakukan awal musim hujan, kemudian dibuat lubang tanam sedalam 10-15cm, dengan jarak 45cm x 120cm atau 90cm x 120cm. Untuk mendapat hasil yang baik, diberi pupuk dengan dosis 40 kg N, 40 kg P2O5 dan 80 kg K per hektar (Sufiani, 1993). Menurut Hartanto (1994), suweg yang ditanam dengan tanaman jagung dapat menghasilkan umbi sebesar 40 ton/ha, sedangkan pada sawah atau tegalan sebesar 11-20 ton/ha.

3.3   Prediksi Keberhasilan Inovasi Terbaru Pembudidayaan Suweg dengan Naungan markisa ungu dan Penyemprotan Hormon Giberellin GA3


Pembudidayaan suweg dengan  naungan markisa ungu diharapkan dapat meningkatkan produktivitas umbi suweg,  karena suweg  dapat tumbuh optimal seperti pada habitatnya dihutan tropika dengan naungan sampai 50%.  Markisa ungu memiliki masa panen tiga bulan sehingga saat umbi suweg belum dapat berproduksi, petani masih dapat berpenghasilan dari panen markisa ungu, tentunya hal ini  akan menjadi daya tarik utama untuk petani dalam membudidayakan suweg. Sedangkan penggunaan hormon GA3 sendiri dimaksudkan agar umbi dapat tumbuh optimal dan berukuran besar.
Suweg memiliki nilai ekonomi tingi sehigga suweg dapat menjadi simpanan untuk masa panen berikutnya. Suweg yang dibudidayakan dengan lebih intensif dapat  menyuplai permintaan umbi suweg  secara continue sehingga membuka peluang pasar untuk permintaan industri skala besar.

3.4 Suweg sebagai Komoditas Diversifikasi Pangan  Unggulan Indonesia

 

Suweg dapat menjadi bahan pnagan alternatif diversifikasi. Umbi suweg mengandung pati dalam jumlah besar sehingga sering dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan (Jansen et al., 1996). Namun, saat  ini suweg tidak hanya dikonsumsi langsung (direbus) tetapi juga dijadikan tepung (Kasno et al., 2007). Berbagai kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti menyatakan bahwa tepung suweg sangat potensial sebagai sumber bahan pangan baru. Jepang telah mengembangkan konnyaku dan shirataki dari tepung suweg. Tepung suweg dapat diolah menajadi berbagai macam penganan seperti kue basan, brownies dan mi.   
Selain itu, suweg memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai komoditas ekspor. Peluang ekspor terbuka lebar untuk tujuan ke Korea, Jepang dan Taiwan (Lingga et al., 1989). Penggunaan suweg sebagai bahan baku  industri baik dalam maupun luar negeri sangat tinggi dan produksi saat ini belum memenuhi kebutuhan lebih dari 3000 ton per tahun.
Dengan pembudidayaan yang optimal pada lahan budidaya diharapkan produksi suweg  dapat optimal dan berkelanjutan. Indonesia dapat berswasembada suweg dan menjadikan suweg sebagai komoditas unggulan yang memiliki nilai ekonomi tinggi  dan dapat meningkatkan pendapatan petani.



V. PENUTUP

 

 

5.1  Kesimpulan

Dari data yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa:
a.   Suweg adalah tanaman penghasil umbi yang habitat aslinya ada di hutan tropis
b.  Suweg berpotensi tinggi untuk dikembangkan sebagai komoditas diversifikasi pangan.
c.    Penggunaan naungan markisaa ungu sebagai naungan dan penyemprotan hormon gibberellin GA3 puntuk pembudidayaan suweg berpotensi untuk meningkatkan produktivitas tanaman suweg.
d.    Dengan pembudidayaan yang intensif suweg mampu berproduktivias secara berkelanjutan sehinga mampu memenuhi kebutuhan pasar dalam sekala dalam dan luar negeri

5.2  Saran


Diharapkan ada penelitian lebih lanjut mengenai pembudidayaan suweg dengan naungan tanaman markisa dan  petani mau mengembangkan  inovasi pembudidayaan tersebut sehinga produksi suweg lebih optimal dan dapat memenuhi peluang pasar dalam dan luar negeri serta mampu menjadi komoditas unggulan Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA


Hariyadi, P. 2010. Mewujudkan Keamanan Pangan Produk-Produk Unggulan Daerah. Prosiding Seminar Nasional 2010."Peran Keamanan Pangan Produk Unggulan Daerah dalam Menunjang Ketahanan Pangan dan Menekan Laju Inflasi"Purwokerto 8-9 Oktober 2010.
Hariyadi, P. 2007. Penguatan Industri Penghasil Nilai Tambah Berbasis Potensi Lokal (Peranan Teknologi Pangan untuk Kemandirian Pangan). Jurnal PANGAN, Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 295-301.
Jansen, P.C.M., C. van der Wilk, and W.L.A. Hetterscheid.1996. Amorphophallus Blume ex Decaisne.In: Flach M dan F. Rumawas (eds.). Plant Resources of South-East Asia 9: Plants yielding non-seed carbohydrates.Prosea Foundation. Bogor.
Kay, D. E. 1973. Root Crops.Tropical Product Institute. Foreign and Commonwealth Office.
Krishnamoorthy, H, N.1981. Plant Growth Substances Including Applivations in Agriculture. Tata Mc Graw Hill. Publ. Co. Ltd. New York, 214 p.
Kriswidarti, T. 1980. Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl. J.) kerabat bunga bangkai yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Buletin Kebun Raya vol. 4(5): 171 – 174.
Respatie, Dyah Weny.2004. Dari Jurnal Resipitory IPB. Pengaruh Gibberellin(GA3) Dan Umbi Terhadap Pembungaan Tanaman Suweg. IPB. Bogor.
Rosman, R. & S. Rusli, 1991. Tanaman Suweg. Edisi khusus LITTRO vol. VII No.2.BalaiPenelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO). Bogor.
Soemono, S. , J. S. Baharsyah, J. Wiroatmodjo dan S.Tjokrosoedirdjo. 1986. Pengaruh bobot bibi t terhadappertumbuhan, hasil dan kualitas umbi suweg (A.campanulatusBl. J.) pada berbagai umur. Bul. Agro. XVII (2) 17 – 23.
Sufiani, S., 1993.Suweg (Amorphophallus) jenis, syarat tumbuh, budidaya dan standar mutu ekspornya.Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO). Bogor.
Sufiani, S. 1995. Suweg (Amorphophallus); jenis, syarat tumbuh, budidaya dan standar mutu ekspornya. Media Komunikasi Penelitian danPengembangan Tanaman Industri 12: 11-16.
Sumarwoto. 2004. Pengaruh pemberian pupuk dan ukuran bulbil terhadap pertumbuhan Suweg (Amorphophallus muelleri Blume) pada tanah ber-Al tinggi. Ilmu Pertanian 11 (2) : 45-53.
Wattimena, G. A. 1982. ZPT Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.Bogor.247 hal.
Yuliatmoko, W. dan Artama, T. 2010. Peran fmipa universitas terbuka dalam difusi inovasi teknologi untuk mendukung ketahanan pangan. Prosiding Seminar Nasional FMIPA Universitas Terbuka., 2010. “Perspektif STS (Science, Technology, and Society) dalam Aktualitasi Pembangunan Berkelanjutan.
Yuzzami.2002.A Toxonomis of the Teresterial and Aquatic Aroids(araceae) in Java. School of Botanical Science, Faculty of Life Science, University of New South Wales Australia.358 p.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar