ROCKY PAULUS BATUBARA
PROGRAM STUDI
AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan
rahmat dan taufik-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah
Bahasa Indonesia yang berjudul “Budidaya Suweg (Amorphophallus campanulatus) dengan Naungan
Markisa Ungu (Passiflora edulis) untuk Memaksimalkan Hasil Produksi sebagai Komoditas Diversifikasi Pangan Unggulan Indonesia”
dengan baik, tidak lupa sholawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang berjuang
di jalan Allah hingga akhir zaman.
Selesainnya
penulisan makalah ini berkat dukungan
dan bantuan semua pihak yang terkait didalamnya. Untuk itu penulis menyampaikan
terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Orang
tua di rumah yang senantiasa memberikan do’a dan dukungannya.
2. M.
Hambali, SS,M.Pd selaku dosen pengampu matakuliah Bahasa Indonesia.
3. Rika Wulandari dan Dewa Ayu Kadek Dwi A. asisten
yang membantu dalam pengerjaan dan
penyelesaian makalah ini.
4.
Segenap pihak yang telah membantu dalam
proses penyelesaian penulisan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
Penulis
menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan demi perbaikan kedepannya. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Malang, 30 Mei
2013
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMABAR
Gambar 1. Tanaman Suweg dan
Umbinya........................................................6
Gambar 2. Denah Budidaya Suweg pada naungan Markisa...........................13
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejalan dengan
krisis ekonomi global tiga tahun terakhir maka pemerintah Indonesia mendorong
industri dalam negeri menggunakan bahan baku lokal dan mengurangi
ketergantungan pada bahan impor (Arisoesilaningsih, 2009). Suweg adalah tanaman umbi
tradisional yang telah dimanfaatkan
sejak lama di Indonesia. Di Jawa, umbi direbus dan dikonsumsi sebagai pengganti
nasi terutama selama musim kering,
selain itu suweg telah diketahui banyak
manfaatnya sehingga mempunyai nilai ekonomi tinggi (Prihatyanto, 2007). Umbi
suweg mengandung glukomanan yang banyak manfaatnya sebagai bahan baku konniyaku makanan khas Jepang, perekat,
industri tekstil, industri film, industri listrik, industri senjata perang dan
gelatin mannan sebagai pengganti media tumbuh (Lingga et al.,1989). Umbi suweg
mengandung pati dalam jumlah besar sehingga sering dikonsumsi langsung sebagai
bahan pangan (Jansen et al., 1996).
Budidaya suweg
di Indonesia belum maksimal, umbi suweg yang diekspor selama ini berasal dari
tanaman yang tumbuh liar di bawah tegakan
hutan produksi Perum Perhutani di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa
Barat. Secara alami suweg tumbuh di hutan tropika dataran rendah hingga 100-1000 meter di atas permukaan laut. Produksi umbi suweg di bawah tegakan
hutan Jawa Timur minimal 4 ton per ha dan bila dibudidaya lebih intensif dapat
mencapai 8-9 ton per ha (Arisoesilaningsih, 2009). Pada tahun 2009 total ekspor
umbi suweg di Indonesia mencapai 235 ton , peluang industri suweg dalam dan
luar negeri sangat tinggi dan produksi saat ini belum memenuhi kebutuhan lebih
dari 3000 ton per tahun, maka masyarakat
lebih memilih berburu di hutan-hutan termasuk memperoleh bibit juga
mengandalkan pasokan alam daripada membudidayakannya di lahan. Akibatnya,
populasi suweg di alam terancam kelestariannya.
Berdasar permasalahan tersebut, perlu adanya
pengembangan budidaya suweg secara intensif pada lahan budidaya. Agar suweg
dapat dibudidayakan pada lingkungan yang bukan habitat aslinya, maka harus
dilakukan modifikasi lingkungan tempat tumbunnya dengan penanaman tanaman naungan. Masa panen suweg antara 5-6 bulan,
sehingga dalam waktu enam bulan tersebut
tentunys lahan tidak dapat berproduksi, untuk mengatasinya tanaman
naungan yang digunakan pada budidaya suweg haruslah tanaman yang dapat berproduksi
kurang dari enam bulan namun berpotensi untuk menunjang produktivitas suweg. Selain itu, untuk memaksimalkan fase vegetatif disemprotkan
hormon giberelin agar umbi dapat berkembang maksimal sebelum ditanam pada lahan.
Tanaman naungan
yang akan digunakan adalah markisa ungu, markisa ungu memiliki potensi besar
untuk dikembangkan sebagai tanaman naungan suweg baik dari segi ekonomi maupun
ekologinya. Tanaman markisa ungu dan suweg , sama-sama tumbuh baik pada dataran
tinggi, selain itu markisa ungu dapat berproduksi sepanjang tahun dan dapat
berproduksi setelah tiga bulan tanam (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura, 2010). Penanaman suweg
dan markisa ungu di tanam pada satu lahan yang sama, markisa
ungu ditanaman pada jarak 4x5 m, dan di pasang penyanga yang membentuk naungan
dengan tinggi 2,5 m. Dalam naungan tersebut di tanam suweg dengan jarak 2x1,5
m. Dengan demikian lahan dapat termanfaatkan dengan maksimal dan suweg dapat
dibudayakan pada lahan budidaya dan tidak harus menjarah hutan untuk memenuhi permintaan konsumen,
selain itu tentunya dengan budidaya intensif maka produksi yang dihasilkan kan
lebih optimal dan dapat berkelanjutan sehingga suweg dapat menjadi salah satu komoditas
unggulan Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana potensi pembudidayaan suweg (Amorphophallus campanulatus)
menggunakan
naungan markisa ungu (Passiflora
edulis) dan
penyemprotan hormone giberelin untuk mendapatkan hasil produksi suweg maksimal?
2.
Bagaiman
cara budidaya suweg (Amorphophallus campanulatus)
dengan menggunakan
tanaman naungan markisa ungu (Passiflora edulis) dan penyuemprotan
hormon giberelin??
3.
Bagaimana
prediksi keberhasilan inovasi terbaru dalam pembudidayaan suweg (Amorphophallus campanulatus)
dengan naungan
markisa ungu (Passiflora edulis) dan penyemprotan
hormon giberalin?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui potensi pembudidayaan suweg (Amorphophallus campanulatus)
menggunakan naungan markisa ungu (Passiflora edulis) dan penyemprotan
hormon giberelin.
2. Mengetahui cara pembudidayaan tanaman suweg (Amorphophallus campanulatus)
pada lahan budidaya dengan tanaman naungan
markissa ungu (Passiflora edulis) dan
penyemprotan hormon giberelin?
3. Terwujudnya pola pembudidayaan suweg (Amorphophallus campanulatus)
yang optimal pada lahan budidaya sebagai
komoditas unggulan Indonesia untuk mencapai swasembada suweg
1.4 Manfaat Penulisan
1.
Sebagai solusi atas pembudidayaan suweg Amorphophallus campanulatus) yang belum
optimal
2.
Sebagai referensi pola pembudidayaan baru suweg Amorphophallus campanulatus) dan markisa ungu
3.
Sebagai inovasi untuk mendukung pembudidayaan suweg Amorphophallus campanulatus) secara masal dan berkelanjutan sebagai
diversifikasi pangan potensial
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Suweg
Suweg merupakan tanaman berumbi
telanjang, berbentuk globose (Jansen et
all.,1996) dan memiliki batang semu dengan satu daun tunggal yang
terpecah-pecah dan tangkai daun tegak
yang keluar dari umbinya (Kay,1973). Tangkainya berwarna hijau
dan memiliki belang putih yang menyebar rata diseluruh permukaan batang. Batang
juga dipenuhi dengan bintil- bintil, halus yang menyebar rata, panjang
batang berkisar antara 50-150 cm dan helaian daun berdiameter 75-200 cm(Jansen et all.,1996). Dengan lebar daun
demikian, mengakibatkan indeks luas daun rendah sehingga populasi tanaman per
hektar menurut Soemono et al. (1986) dapat mencapai 40000- 50000 tanaman. Suweg
dipelihara untuk dimakan umbinya dan secara
tradisional parutan umbi yang segar dapat dipakai untuk obat luka. Umbi suweg
mengandung kristal kalsium oksalat yang membuat rasa gatal, senyawa tersebut
dapat dihilangkan dengan perebusan.
Sedangkan bunganya termasuk
bunga mejemuk dan uniseksual (bunga jantan dan betina ada dalam
dua bunga yang terpisah). Bunga jantan dan betina dapat terlihat hanya saat
bunga mekar, tongkol bunga terdiri dari bunga betina dibagian bawah, bunga
jantan di tengah dan bagian tangkai teratas bunga mandul. Semuanya tersusun
dalam tangkai yang menjulang di tengah bunga, maka yang disebut bunga,
sebenarnya hanyalah seludang, sehingga
dapat disebut bunga semu (Sufiani,1993). Umbi suweg, berbentuk bundar agak pipih dan
berkulit kasar, dengan serabut menyerupai akar yang tumbuh jarang di permukaan
kulitnya.. Seluruh permukaan kulit umbi suweg dipenuhi dengan bintil-bintil dan
tonjolan, sebagai anak umbi dan tunas yang dapat dugunakan untuk perbanyakan
atau perkembangbiakan secara vegetative dengan menanam tunas atau umbi anaknya.
Sementara di bagian atas tepat di tengah-tengah lingkaran umbi, terletak tunas
utamanya (Sufiani.1995).
Gambar 1: Tanaman
suweg dam umbinya.
(Sumber gambar: Sumarwoto.2004)
2.2 Syarat Hidup Suweg
Suweg
merupakan tanaman yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan hidupnya, tanaman suweg
dapat tumbuh baik pada vegetasi sekunder yaitu tempat lembab yang terlindungi, serta pada dataran rendah
hingga 800m dpl. Suhu optimum yang diperlukan untuk pertumbuhannya adalah 25-350
C dan curah hujan 1000-1500 mm/tahun. Meskipun tanaman suweg dapat ditemui pada
hamper semua jenis tanah, kecuali rawa, namun partumbuhan umbi terbaik mencapai
pertumbuhan maksimumnya pada jenis tanah lempung berpasir dengan pH 6 - 7.5(Jansen et all.,1996).
2.3 Pembudidayaan Suweg Di Indonesia
Di
seluruh dunia terdapat sekitar 90 jenis Amorphophallus
spp.,yang diperkirakan lebih dari 20 jenis berasal dari Indonnesia, dengan
8 jenis ditemukan di Jawa. Namun di Indonesia Amorphophallus spp, termasuk dalam kelompok “minor tuber crop” dengan ciri-ciri minimnya perhatian pemerintah,
peneliti dan lembaga pembudidaya
konservari pangan lainnya, justru cenderung diabaikan dalam setiap pembahasan
sumber pangan utama. Kecenderungan memarginalisasi, terjadi secara tidak
langsung dari aspek kebijakan pemerintah pada masa dahulu yang mengutamakan
peningkatan produksi beras (Yuzammi, 2002).
Sebenarnya,
komoditas ini pernah menjadi komoditas ekspor Indonesia sejak sekitar tahun
1920-an. Tahun 1987 ekspor tercatat 86 ton dan pada tahun 1991 tercatat 225 ton
dengan keseluruhan produksi berasal dari eksploitasi di hutan (Sufiani,1995). Secara tradisonal
para petani di Blitar, Kuningan dan Banjarmasin adalah daerah-daerah yang
menggunakan spesies liar sebagai pakan ternak. Jenis yang tidak gatal digunakan
untuk makanan setelah dikupas, dirajang, dicuci, dikukus bersama kelapa dan
gula merah (Santosa et all., 2002).
Sebenarnya jika dilihat dari kondisi lahan Indonesia yang subur, tanaman
tropika seperti suweg ini sangat mudah dibudidayakan, terlebih tanaman ini dpat
ditumpang sarikan dengan tanaman tahunan sebagi naungannya, sehingga budidaya
suweg ini dapat berjalan dan maju dengan pesat dengan pengolahan produksi yang
tepat. Sayangnya di Indonesia masih sebatas pembudidayaan untuk pangan keluarga
saja, dan itu pun hanya masyarakat desa yang mengenalnya, selain itu belum
dikenalnya suweg secara luas dan umur tanaman suweg yang relatif lebih panjang dari pada tanaman
palawija lainya, serta faktor keberhasilan yang kurang pasti membuat pembudidayaan
suweg belum berkembang (Santosa et all.,
2003).
2.4 Jenis dan Manfaat Suweg
Suweg sering disebut suweg, acung, ileus,
atau bunga bangkai termasuk famili Araceae
(talas-talasan). Dari 90 jenis suweg di dunia,20 diantaranya ada di Indonesia
dan banyak dijumpai, diantaranya: A.
campanulatus, A. oncophyllus, A.
variabilis, A. spectabilis, A.konjac, A. decumsilvae,A. paeoniifolius, A.
mullerri, dan yang sangat terkenal adalah A. titanium (bunga bangkai) A.
decuss-silvae, dan A.gigaskarena bunganya sangat besar dan indah. Sedangkan
untuk bahan makanan dan industri kebanyakan yang digunakan adalahadalah A. campanulatus, A. oncophylus,dan A.
variabilis (Sufiani, 1993).
Umbi suweg memiliki beberapa manfaat sebagai
berikut:
1)
Umbi suweg mwmiliki nilai indeks Glikemik (IG) rendah yaitu
42, dan bermanfaat untuk menekan kadar gula darah sehingga baik untuk penderita
Diabetes. Selain itu, dapat mengganti sel-sel dalam
tubuh, membersihkan dan mempercepat peredaran darah, tidak mengandung lemak
sehingga membatasi kegemukan, menghilangkan kolesterol sehingga baik bagi
penderita darah tinggi dan Diabetes, obat luka kena gigitan ular
berbisa atau lipan serta sebagai obat luka luar
lainnya.
2)
Tepung umbi suweg dapat
pula digunnakan untuk kosmetik dan lem. Pengolahan
umbi suweg ke dalam bentuk tepung dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar
berbagai makanan seperti Roti, Biskuit, Mie, Agar-agar, dan tahu.Selain diolah
ke dalam bentuk tepung, umbi suweg juga bisa dikonsumsi secara langsung dengan
cara dikukus, dikolak, dan diolah menjadi Bubur. Sehingga dapat
digunakan sebagai pengganti bahan makanan pokok, bahan baku snack, manisan, dan
makanan pengudap (seperti mie) (Rosman, R. & S. Rusli, 1991).
2.5 Peran Markisa Ungu (Passiflora edulis) Sebagai Naungan
Secara umum markisa memiliki
pertumbuhan sulur dan batang yang menyebar luas, kemudian sulur yang meyebar
tersebut dapat menutupi tanaman di bawahnya dengan baik jika dirambatkan dengan
penyangga yang tinggi. Sehingga tanaman markisa sangat bagus untuk naungan
tanaman- tanaman yang memerlukan naungan, markisa merupakan tanaman merambat, sehingga dengan
satu tanaman mampu menghasilakan kanopi dan naungan cukup besar,
sehingga tidak mengakibatkan perebutan unsur hara dengan tanaman budidaya yang
dinaunginya, tingkat kerapatannya juga tinggi dan usia yang cukup panjang
membuat naungan dari tanaman markisa ini tidak
perlu sering diganti(Sumarwoto.2004).
Tanaman markisa ungu
tumbuh baik pada dataran tinggi, selain itu
markisa ungu dapat berproduksi sepanjang tahun dan dapat berproduksi
setelah tiga bulan tanam (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura,
2010). Markisa ungu memiliki daun yang
lebih tipis dan ukurannya lebih kecil dibanding jenis markisa lain, sehingga
akan cocok untuk dijadikan naungan karena kanopi daun tidak akan terlslu
rimbun, sehingga sinar matahari dapat masuk dan diserap tanaman yang
dinaunginya.
2.6 Pengaruh
Berbagai Jenis Naungan Terhadap Pertumbuha Suweg
Budidaya
suweg memerlukan tanaman keras sebagai
tegakan yang melindunginya dari sinar matahari langsung. Sebenarnya, kerapatan
pohon atau keteduhan daun lahan yang akan ditanami tidak harus terlalu rapat
dan keteduhan yang diberikanpun hanya minimal sekali, yang penting, pada saat
matahari terik bersinar di tengah hari, daun suweg bisa terlindung dari
sinarnya. Daun akan layu dan tanaman
tidak akan tumbuh optimal bila terkena sinar berlebih dan akan mati. Naungan yang ideal untuk tanaman suweg
adalah jenis tanaman hhutan seperti
jati, mahoni sono, dan tanaman kayu lain. Tingkat kerapatan naungan
minimal 40% sehingga semakin rapat semakin baik (Sufiani.1995). Namun, pada hasil produksi tanaman suweg sendiri,
terlihat sangat baik pada lingkungan hutan atau agroforestry yang di dalamnya
tumbuh tanaman berkayu tahunan, misalnys pada hutan jati produksi suweg
mencapai sekitar 80 ton dalam sekali panen(Santosa et all,. 2003).
2.7
Fungsi Hormon Gibberellin (GA3) pada Tanaman
Hormon
dalam tubuh tanaman memiliki fungsi masing-masing salah satunya adalah hormon
pertumbuhan atau fitohormon, yang terdiri dari auksin, gibberellin, sitokinin dan
fenolik. Gibberellin adalah salah satu zat ZPT yang banyak dijumpai pada
bakteri, fungi, Paku-pakuan, gymnospermae dan angiospermae. Wattimena (1987),
mengungkapkan bahwa gibberellin dihasilkan oleh filtrat kultur cendawan Gibberella fujikuroi. Terdapat sekitar
55 jenis Gibberellin yang telah didapati pada tanaman sebagai fitohormon, dan
jenis yang paling mudah dijumpai adalah GA3 (C19H22O16)
(Krishnamoorthy,1981)
2.8 Diversifikasi Pangan Indonesia
Namun demikian, hingga kini produk pangan lokal
Indonesia belum mampu untuk mematahkan dominasi pangan dari beras atau tepung
terigu. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya inovasi teknologi terhadap
produk pangan lokal tersebut. Di sisi lain, di era global ini, tuntutan
konsumen terhadap pangan terus berkembang, selera konsumen menjadi faktor yang
sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap produsen. Oleh karena itu,
inovasi teknologi terhadap produk pangan lokal mutlak harus dilakukan, juga
inovasi teknologi terhadap pangan lokal bukan saja terhadap aspek mutu, gizi,
dan keamanan yang selama ini didengungkan oleh berbagai pihak.Inovasi teknologi
juga harus menyentuh aspek preferensi konsumen, yaitu kesesuaian, baik kesesuaian terhadap selera, kebiasaan, kesukaan;
kebudayaan, atau terlebih-lebih terhadap kepercayaan/agama.Karena pada
akhirnya, konsumenlah yang menentukan pilihan terhadap suatu produk pangan
tersebut dikonsumsi atau tidak, meskipun produk tersebut dinyatakan bermutu,
bergizi, dan aman untuk dikonsumsi.
III. PEMBAHASAN
3.1 Potensi Pembudidayaan Suweg dengan Naungan Markisa Ungu
untuk Memperoleh Produktivitas Maksimal
Berdasarkan data penelitian
(Arisoesilaningsih, dkk.,2009) optimalisasi diameter dan volume umbi suweg di
lahan agroforestri direkomendasikan budidaya suweg dengan mengendalikan kondisi
lingkungan tanam umbi suweg yaitu ketinggian lebih dari 400 mdpl, suhu bulanan
selama periode vegetatif tidak terlalu
rendah, kadar Ca rendah, KTK (Kapasitas Tukar Kation) optimal dan mempertahankan
vegetasi penutup tanah. Pengaplikasian
suweg dan markisa ungu pada lahan budidaya yang sama diharapkan dapat menunjang
produktivitas tanaman suweg, selain itu lahan tetap dapat berproduksi saat
suweg belum mencapai perkembangan vegetatif maksimalnya.
Di
Indonesia secara komersil markisa ungu dibudidayakan pada dataran tinggi pada
daerah Sumatra serta Sulawesi. Hal
tersebut menjadi salah satu persamaan syarat tumbunya dengan suweg. Secara umum
markisa tumbuh memanjang dengan sulur, daun markisa ungu berbentuk menjari dengan panjang daun 9-12 cm
, ruas antar batang pada markisa ungu
berkisar antara 5-7 cm (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura,
2010). hal ini memungkinkan markisa
untuk dijadikan tanaman naungan pada budidaya suweg.
Produktivitas
umbi suweg dapat maksimal pada lahan
yang ternaungi. Menurut
Hartanto (1994), suweg yang ditanam dengan tanaman jagung
dapat menghasilkan umbi sebesar 40 ton/ha, sedangkan pada sawah atau tegalan
sebesar 11-20 ton/ha. Diharapkan
dengan penggunaan naungan markisa produktivitasnya dapat lebih tinggi lagi.
3.2 Teknik Budidaya Suweg dengan Naungan Markisa Ungu dan Penyemprotan Hormon Gibberellin (GA3)
Pemberian GA3
menginduksi pembungaan pada tanaman suweg Peningkatan konsentarasi GA3 akan
menghambat pembungaan pada awal pertumbuhan, hal ini diduga karena hormone GA3
merupakan hormon pertumbuhan yang meningkatkan laju pertumbuhan pada fase
vegetatif. Sehingga tanaman terus tumbuh besar, namun bunganya terhambat.
Dengan pertumbuhan vegetatif yang pesat akan meningkatkan aktivitas
fotosintesis tanaman, sehingga secara tidak langsung juga menyebabkan
pembentukan umbi lebih besar (Respatie, 2004). Penyemprotan hormon GA3 dilakukan
menggunakan sprayer pada bibit suweg. Bibit suweg yang digunakan berasal dari perkembang biakan
vegetatif melalui umbi katak, yaitu umbi kecil yang muncul di ketiak daun,
dapat dikumpulkan kemudian disimpan sehingga bila memasuki musim hujan dapat
langsung ditanam pada lahan yang telah
disiapkan.umbi katak yang digunakan
sebagai bibit disemprot dan diamkan selama semalam, baru kemudian ditanam pada
lahan.
Untuk
pengaplikasiaan naungannya, sulur markisa diatur
merambat pada pada tempat penjalaran yang telah diatur denngan panjang rangka
penjalaran 4 m dengan lebar 5 meter dan tinggi 2,5 m. Suweg ditanam dengan
jarak 2x1,5 m di dalam naungan markisa, dalam
lubang galian suweg diberi pupuk dan sekam, penggunaan sekam dimaksudkan agar
saat panen umbi suweg mudah untuk diambil. Pada satu
rangkaian naungan markisa maksimal dapat ditanam lima bibit suweg. Berikut merupakan pola lahan budidaya suweg dengan
naungan markisa ungu:
Keterangan:
Bibit
Markisa
Bibit Suweg
Gambar 2. Denah Budidaya Suweg pada Naungan Markisa
Sumber
: Penulis (2013)
Bibit
suweg ditanam dalam naungan markisa setelah markisa berumur tiga bulan hal ini
dimaksudkan agar sulur markisa sudah hampir memenuhi tempat rambatan. Sedangkan pembudidayaan
suweg pada lahan terbuka tanpa naungan pengolahan tanah dilakukan awal musim hujan, kemudian dibuat lubang tanam
sedalam 10-15cm, dengan jarak 45cm x 120cm atau 90cm x 120cm. Untuk mendapat
hasil yang baik, diberi pupuk dengan dosis 40 kg N, 40 kg P2O5
dan 80 kg K per hektar (Sufiani, 1993). Menurut Hartanto (1994), suweg
yang ditanam dengan tanaman jagung dapat menghasilkan
umbi sebesar 40 ton/ha, sedangkan pada sawah atau tegalan sebesar 11-20 ton/ha.
3.3 Prediksi Keberhasilan Inovasi Terbaru
Pembudidayaan Suweg dengan Naungan markisa ungu dan Penyemprotan Hormon Giberellin GA3
Pembudidayaan suweg
dengan naungan markisa ungu diharapkan
dapat meningkatkan produktivitas umbi suweg, karena suweg
dapat tumbuh optimal seperti pada habitatnya dihutan tropika dengan
naungan sampai 50%. Markisa ungu
memiliki masa panen tiga bulan sehingga saat umbi suweg belum dapat
berproduksi, petani masih dapat berpenghasilan dari panen markisa ungu,
tentunya hal ini akan menjadi daya tarik
utama untuk petani dalam membudidayakan suweg. Sedangkan penggunaan hormon GA3 sendiri dimaksudkan agar umbi
dapat tumbuh optimal dan berukuran besar.
Suweg memiliki nilai
ekonomi tingi sehigga suweg dapat menjadi simpanan untuk masa panen berikutnya.
Suweg yang dibudidayakan dengan lebih intensif dapat menyuplai permintaan umbi suweg secara continue
sehingga membuka peluang pasar untuk permintaan industri skala besar.
3.4 Suweg sebagai Komoditas Diversifikasi Pangan Unggulan Indonesia
Suweg dapat menjadi
bahan pnagan alternatif diversifikasi. Umbi suweg mengandung pati dalam jumlah
besar sehingga sering dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan (Jansen et
al., 1996). Namun, saat ini suweg
tidak hanya dikonsumsi langsung (direbus) tetapi juga dijadikan tepung (Kasno et
al., 2007). Berbagai kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti
menyatakan bahwa tepung suweg sangat potensial sebagai sumber bahan pangan
baru. Jepang telah mengembangkan konnyaku dan shirataki dari
tepung suweg. Tepung suweg dapat diolah menajadi berbagai macam penganan seperti
kue basan, brownies dan mi.
Selain itu, suweg
memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai komoditas ekspor. Peluang
ekspor terbuka lebar untuk tujuan ke Korea, Jepang dan Taiwan (Lingga et al.,
1989). Penggunaan suweg sebagai bahan baku
industri baik dalam maupun luar negeri sangat tinggi dan produksi saat
ini belum memenuhi kebutuhan lebih dari 3000 ton per tahun.
Dengan pembudidayaan
yang optimal pada lahan budidaya diharapkan produksi suweg dapat optimal dan berkelanjutan. Indonesia dapat
berswasembada suweg dan menjadikan suweg sebagai komoditas unggulan yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan dapat
meningkatkan pendapatan petani.
V.
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari data yang didapatkan dapat
disimpulkan bahwa:
a. Suweg
adalah tanaman penghasil umbi yang habitat aslinya ada di hutan tropis
b. Suweg berpotensi tinggi untuk dikembangkan
sebagai komoditas diversifikasi pangan.
c. Penggunaan naungan markisaa ungu sebagai naungan dan penyemprotan hormon gibberellin GA3
puntuk pembudidayaan suweg berpotensi untuk meningkatkan produktivitas tanaman
suweg.
d. Dengan pembudidayaan yang intensif suweg
mampu berproduktivias secara berkelanjutan sehinga mampu memenuhi kebutuhan pasar
dalam sekala dalam dan luar negeri
5.2 Saran
Diharapkan ada
penelitian lebih lanjut mengenai pembudidayaan suweg dengan naungan tanaman
markisa dan petani mau
mengembangkan inovasi pembudidayaan
tersebut sehinga produksi suweg lebih optimal dan dapat memenuhi peluang pasar
dalam dan luar negeri serta mampu menjadi komoditas unggulan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Hariyadi,
P. 2010. Mewujudkan Keamanan Pangan
Produk-Produk Unggulan Daerah. Prosiding Seminar Nasional 2010."Peran Keamanan Pangan Produk Unggulan Daerah
dalam Menunjang Ketahanan Pangan dan Menekan Laju Inflasi"Purwokerto 8-9
Oktober 2010.
Hariyadi,
P. 2007. Penguatan Industri Penghasil
Nilai Tambah Berbasis Potensi Lokal (Peranan Teknologi Pangan untuk Kemandirian
Pangan). Jurnal PANGAN, Vol. 19 No. 4 Desember 2010: 295-301.
Jansen, P.C.M., C. van der Wilk, and
W.L.A. Hetterscheid.1996. Amorphophallus
Blume ex Decaisne.In: Flach M dan F. Rumawas (eds.). Plant Resources
of South-East Asia 9: Plants yielding non-seed carbohydrates.Prosea Foundation.
Bogor.
Kay,
D. E. 1973. Root Crops.Tropical Product Institute. Foreign and
Commonwealth Office.
Krishnamoorthy, H, N.1981. Plant Growth Substances Including Applivations in Agriculture. Tata
Mc Graw Hill. Publ. Co. Ltd. New York, 214 p.
Kriswidarti,
T. 1980. Suweg (Amorphophallus
campanulatus Bl. J.) kerabat bunga bangkai yang berpotensi sebagai sumber
karbohidrat. Buletin Kebun Raya vol. 4(5): 171 – 174.
Respatie, Dyah Weny.2004. Dari Jurnal Resipitory IPB. Pengaruh Gibberellin(GA3) Dan
Umbi Terhadap Pembungaan Tanaman Suweg. IPB. Bogor.
Rosman, R. & S. Rusli, 1991. Tanaman Suweg. Edisi khusus LITTRO
vol. VII No.2.BalaiPenelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO). Bogor.
Soemono,
S. , J. S. Baharsyah, J. Wiroatmodjo dan S.Tjokrosoedirdjo. 1986. Pengaruh bobot bibi t terhadappertumbuhan,
hasil dan kualitas umbi suweg (A.campanulatusBl. J.) pada berbagai umur.
Bul. Agro. XVII (2) 17 – 23.
Sufiani, S., 1993.Suweg (Amorphophallus)
jenis, syarat tumbuh, budidaya dan standar mutu ekspornya.Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO). Bogor.
Sufiani,
S. 1995. Suweg (Amorphophallus);
jenis, syarat tumbuh, budidaya dan standar mutu ekspornya. Media Komunikasi Penelitian danPengembangan
Tanaman Industri 12: 11-16.
Sumarwoto.
2004. Pengaruh pemberian pupuk dan ukuran
bulbil terhadap pertumbuhan Suweg (Amorphophallus
muelleri Blume) pada tanah ber-Al tinggi. Ilmu Pertanian 11 (2) :
45-53.
Wattimena, G. A. 1982. ZPT Tanaman. Laboratorium
Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.Bogor.247
hal.
Yuliatmoko,
W. dan Artama, T. 2010. Peran fmipa
universitas terbuka dalam difusi inovasi teknologi untuk mendukung ketahanan
pangan. Prosiding Seminar Nasional FMIPA Universitas Terbuka., 2010.
“Perspektif STS (Science, Technology, and Society) dalam Aktualitasi
Pembangunan Berkelanjutan.
Yuzzami.2002.A Toxonomis of the Teresterial and Aquatic
Aroids(araceae) in Java. School of Botanical Science, Faculty of Life Science,
University of New South Wales Australia.358 p.